Perang Tagar Siapa Menang
“Ribut-ribut soal #2019GantiPresiden dan #TetapJokowi hanya dilakukan sebagian kecil warga Indonesia atau di bawah 5 persen.”
Hashtag (tagar) #2019GantiPresiden begitu bergema di media sosial. Sang pencetus adalah Mardani Ali Sera, politikus Partai Keadilan Sejahtera. Belakangan, tagar itu menjadi inspirasi para perajin kaus dan aksesori. Ribuan kaus dalam hitungan hari dipasarkan sejumlah pedagang kaki lima di wilayah Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya.
“Betul, saya yang pertama mencetuskan #2019GantiPresiden. Dan saya beli baju itu di Bandung. Sekarang yang jual sudah banyak, kok. Di Pasar Senen (Jakarta) juga banyak itu yang jual,” ujar Ketua DPP partai berlambang padi dan kapas tersebut kepada detikX.
Menurut Mardani, ide itu merupakan sebuah pesan kepada publik atau sebuah gerakan sosial yang menginginkan adanya pergantian presiden pada Pemilu 2019. Ia menegaskan, gerakan #2019GantiPresiden merupakan gerakan yang sah dan konstitusional mengingat 2019 adalah tahun politik.
Menurut Mardani, esensi gerakan #2019GantiPresiden ada tiga hal. Pertama, ajakan itu ditujukan kepada umat Islam, khususnya para ulama, untuk memilih pemimpin yang tepat. Kedua, walau pencoblosannya pada April 2019, pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden dilaksanakan pada 4-10 Agustus 2018, sehingga perlu persiapan untuk mengajukan calon pemimpin baru (capres-cawapres).
“Kita tidak sedang menjelekkan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Beliau orang baik. Pemerintah sekarang sedang bekerja. Tapi kami menilai dan ini hak konstitusional kami. Kami ingin 2019 ganti presiden yang lebih baik,” ujar Mardani.
Ketiga, gerakan tersebut bertujuan merumuskan agenda ‘Menuju Indonesia Berkah’. Indonesia maju, adil, dan makmur sebagaimana ditulis dalam konstitusi.
Namun, di mata Enda Nasution, seorang pengamat media sosial, gerakan #2019GantiPresiden hanya gimmick.Sebab, untuk mencapai trending topic,tagar tersebut jarang terjadi. Hal yang sama dilakukan oleh pihak yang menggelontorkan tagar #TetapJokowi.
Terkait efektivitas gimmick tersebut terhadap masyarakat, terutama yang punya hak pilih, sebetulnya sangat minim. Apalagi jika di Twitter yang muncul hanyalah jumlah akun dan jumlah tweet, bukan rill pengguna atau user.
“Kalau kita bandingkan dengan seluruh populasi di Indonesia, ribut-ribut soal tagar #2019GantiPresiden dan #TetapJokowi hanya dilakukan sebagian kecil warga Indonesia atau di bawah 5 persen,” tutur Enda kepada detikX.
Ditambahkan Enda, efek tagar itu bertambah besar karena diramaikan oleh media sehingga menjadi polemik yang lebih besar. Meski begitu, jika hanya untuk mempopulerkan, tujuan pencetus tagar itu sudah kesampaian. Namun, bila tujuannya untuk mengganti presiden yang baru, tentu masih jadi tanda tanya besar.
Diakui Enda, media sosial memang mudah digunakan untuk mempengaruhi orang. Misalnya tagar #SaveKPK dan #KoinKeadilan, yang berhasil mengumpulkan Rp 800 juta. Sedangkan untuk tagar #2019GantiPresiden atau #TetapJokowi, bukti korelasi langsungnya adalah siapa pemenang pilpres nanti.
Namun popularitas di media sosial bukan jaminan kampanye itu diterima masyarakat luas. Enda mencontohkan, saat Faisal Basri memakai #JakartaBaru di Pilkada DKI Jakarta 2012, dukungan yang didapatkan di media sosial begitu besar. “Data yang saya pegang seperti itu,” ujar Enda.
Namun hasil Pilkada DKI pada putaran pertama, Faisal Basri, yang saat itu berpasangan dengan Biem Benyamin, hanya menempati posisi keempat dari lima pasangan yang berlaga. Faisal-Biem hanya memperoleh 215.935 suara atau sebesar 4,98 persen.
Jadi, berefek atau tidak #2019 GantiPresiden atau #TetapJokowi hanya bisa dilihat pada hasil Pilpres 2019. Apakah mayoritas masyarakat mengikuti ajakan itu atau tidak.
Sedangkan pegiat media sosial Rustika Herlambang punya informasi berbeda. Menurutnya, perang tagar #2019GantiPresiden dan kelompok yang meramaikan #TetapJokowi berjalan dinamis. Dari hari ke hari terlihat dua kelompok tersebut berusaha saling mengalahkan.
Menurut analisis Rustika, jika dilihat dari jumlah akun yang berpartisipasi (turut serta membuat tagar), di Facebook dan Instagram kelompok yang mendukung tagar #TetapJokowi lebih banyak. Meski demikian, dari data Twitter, Instagram, dan Facebook, tagar #2019GantiPresiden lebih kuat gaungnya dibandingkan dengan tagar yang mendukung #TetapJokowi.
Namun mengetahui lebih jelas jumlah pengguna media sosial yang mendukung atau men-share dua tagar tersebut butuh penelitian yang mendalam dan memakan waktu lama.
“Dalam riset yang pernah kami lakukan, acap kali terjadi bahwa keberhasilan perang tagar tidak selalu karena jumlah mereka yang berpartisipasi sangat banyak, melainkan karena ada kekuatan tertentu untuk memenangkan tagar dengan berbagai cara demi sebuah trending topic tertentu,” kata Rustika.
Link : https://x.detik.com/detail/investigasi/20180427/Perang-Tagar-Siapa-Menang/index.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar