Bank Naikkan Bunga KPR, Nasabah pun Menjerit Minta Tolong BI
Sejumlah perbankan nasional mulai mengambil ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga Kredit Kepemilikan Rakyat (KPR) pasca Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps.
Hal ini pun menjadi kekhawatiran sejumlah nasabah bank, karena kenaikan bunga KPR hanya semakin memberatkan biaya cicilan. Padahal, ketika bank sentral menurunkan tingkat suku bunga acuannya, perbankan tidak menurunka bunga KPR.
"Bank paling gampang naikin bunga KPR begitu BI naikin bunga acuan. Mau tidak mau kami sebagai nasabah harus bayar lebih mahal." jelas Dewi, nasabah KPR salah satu bank swasta kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/6/2018). "Sekarang saya floating bunga di bank swasta terakhir kena 12,5%. Padahal waktu BI nurunin bunga, tapi bunga KPR enggak turun," tambah dia.
Menurut Dewi, bank sentral harus mengatur agar bank-bank nasional tidak secara semena-mena menaikkan bunga KPR. Apalagi, ada potensi kenaikan bunga melebihi kisaran 50 bps. "Kabarnya bank mau naikkan ke 13,5%. Ini harus diatur sama BI biar bank enggak semena-mena," tegasnya.
Hal senada dikemukakan Hilmi, nasabah KPR lainnya. Pria yang belum lama mencicil rumah dengan skema KPR ini merasa kenaikkan bunga KPR akan memberikan tambahan dari sisi pengeluaran keluarga. "Saya baru beberapa bulan mencicil, dengan suku bunga mengambang. Kalau naik, berat juga karena saya sudah kalukasi dengan pengeluaran lainnya," ungkapnya.
KPR merupakan salah satu program kredit yang disediakan oleh bank untuk membantu masyarakat memiliki rumah sendiri dengan tingkat bunga yang bervariasi.
Di Indonesia, bunga KPR sendiri ada dua jenis yaitu KPR subsidi dan non-subsidi. KPR subsidi merupakan pemberian kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan bersifat flat hingga masa pelunasan selesai. Sementara KPR non-subsidi merupakan program pemberian kredit dengan tingkat suku bunga tidak tetap, bergantung kebijakan bank masing-masing dan bersifat floating.
KPR sendiri menjadi salah satu suku bunga yang cukup sensitif terhadap perubahan suku bunga acuan. Ketika suku bunga acuan naik, besar kemungkinan bank pun akan menyesuaikan suku bunga KPR terutama non-subsidi.
Misalnya di tahun 2013, ketika BI menaikkan suku bunga acuan hingga 3 kali, perbankan merespon dengan ikut menaikkan suku bunga KPR. Pada tahun tersebut suku bunga KPR yang awalnya berada di rata-rata 7%, meningkat ke rentang 8-9%. Sementara suku bunga floating juga ikut naik ke rentang 12-13% setelah sebelumnya berada di rentang 9-10%.
Mengapa KPR sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan ?
Rasanya untuk menjawab hal ini hanya direksi masing-masing bank yang bisa menjawabnya. Namun dalam kacamata penulis, kenapa bunga KPR begitu sensitif terhadap suku bunga acuan karena hubungannya permintaan terhadap kepemilikan rumah.
Rumah saat ini dikatakan salah satu kebutuhan primer bagi sebagian orang karena fungsinya terutama sebagai tempat berteduh. Daripada menyewa apartemen atau kontrakan, sebagian kalangan lebih memiliki mengeluarkan dana yang ada untuk mencicil rumah dengan kepemilikan sendiri karena lebih menguntungkan.
Oleh sebab itu, tidak aneh jika sebagian orang rela mencari rumah dengan harga murah hingga pinggiran kota agar keinginan mereka memiliki rumah tercapai.
Dalam diskusi outlook pembiayaan perumahan Indonesia tahun 2018 di Jakarta, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti mengungkapkan rata-rata ada 800.000 unut permintaan rumah baru.
Tingginya permintaan rumah tentu menjadi peluang bisnis bagi bank-bank di Indonesia. Adanya kenaikan suku bunga acuan dapat menjadi landasan bagi mereka ikut menaikkan suku bunga KPR sehingga mendorong peningkatan pendapatan perusahaan.
Maka dari itu, tidak lah aneh jika suku bunga KPR menjadi salah satu bunga kredit yang paling sensitif dibandingkan suku bunga kredit lain seperti UMKM.
Pandangan Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) menilai kenaikan bunga di perbankan bukan semata-mata akibat kenaikan bunga acuan dari BI. Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara bank menyesuaikan bunga kreditnya karena adanya capital outflow.
"Kalau bunga BI tidak naik maka bunga pasar tetap akan naik karena capital outflow (yang mana capital outflow mengurangi jumlah uang beredar) Artinya bunga pasar tidak selalu mengikuti bunga BI dalam sistem ekonomi yang terbuka," papar Mirza kepada CNBC Indonesia.
"Contoh lain, bunga BI turun tapi bunga pasar bisa naik karena capital outflow semakin besar terjadi. Ini terjadi di Turki," imbuh Mirza.
Pada dasarnya, bank sentral menghendaki bunga bank bisa rendah. Namun, hal tersebut memang belum bisa untuk saat ini. "Saya juga ingin bunga di Indonesia hanya 1 persen tapi ternyata tidak bisa," katanya.
Link : https://www.cnbcindonesia.com/news/20180608073601-4-18383/mau-ambil-kpr-dengan-bunga-murah-bank-bank-ini-juaranya
Sejumlah perbankan nasional mulai mengambil ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga Kredit Kepemilikan Rakyat (KPR) pasca Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps.
Hal ini pun menjadi kekhawatiran sejumlah nasabah bank, karena kenaikan bunga KPR hanya semakin memberatkan biaya cicilan. Padahal, ketika bank sentral menurunkan tingkat suku bunga acuannya, perbankan tidak menurunka bunga KPR.
"Bank paling gampang naikin bunga KPR begitu BI naikin bunga acuan. Mau tidak mau kami sebagai nasabah harus bayar lebih mahal." jelas Dewi, nasabah KPR salah satu bank swasta kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/6/2018). "Sekarang saya floating bunga di bank swasta terakhir kena 12,5%. Padahal waktu BI nurunin bunga, tapi bunga KPR enggak turun," tambah dia.
Menurut Dewi, bank sentral harus mengatur agar bank-bank nasional tidak secara semena-mena menaikkan bunga KPR. Apalagi, ada potensi kenaikan bunga melebihi kisaran 50 bps. "Kabarnya bank mau naikkan ke 13,5%. Ini harus diatur sama BI biar bank enggak semena-mena," tegasnya.
Hal senada dikemukakan Hilmi, nasabah KPR lainnya. Pria yang belum lama mencicil rumah dengan skema KPR ini merasa kenaikkan bunga KPR akan memberikan tambahan dari sisi pengeluaran keluarga. "Saya baru beberapa bulan mencicil, dengan suku bunga mengambang. Kalau naik, berat juga karena saya sudah kalukasi dengan pengeluaran lainnya," ungkapnya.
KPR merupakan salah satu program kredit yang disediakan oleh bank untuk membantu masyarakat memiliki rumah sendiri dengan tingkat bunga yang bervariasi.
Di Indonesia, bunga KPR sendiri ada dua jenis yaitu KPR subsidi dan non-subsidi. KPR subsidi merupakan pemberian kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan bersifat flat hingga masa pelunasan selesai. Sementara KPR non-subsidi merupakan program pemberian kredit dengan tingkat suku bunga tidak tetap, bergantung kebijakan bank masing-masing dan bersifat floating.
KPR sendiri menjadi salah satu suku bunga yang cukup sensitif terhadap perubahan suku bunga acuan. Ketika suku bunga acuan naik, besar kemungkinan bank pun akan menyesuaikan suku bunga KPR terutama non-subsidi.
Misalnya di tahun 2013, ketika BI menaikkan suku bunga acuan hingga 3 kali, perbankan merespon dengan ikut menaikkan suku bunga KPR. Pada tahun tersebut suku bunga KPR yang awalnya berada di rata-rata 7%, meningkat ke rentang 8-9%. Sementara suku bunga floating juga ikut naik ke rentang 12-13% setelah sebelumnya berada di rentang 9-10%.
Mengapa KPR sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan ?
Rasanya untuk menjawab hal ini hanya direksi masing-masing bank yang bisa menjawabnya. Namun dalam kacamata penulis, kenapa bunga KPR begitu sensitif terhadap suku bunga acuan karena hubungannya permintaan terhadap kepemilikan rumah.
Rumah saat ini dikatakan salah satu kebutuhan primer bagi sebagian orang karena fungsinya terutama sebagai tempat berteduh. Daripada menyewa apartemen atau kontrakan, sebagian kalangan lebih memiliki mengeluarkan dana yang ada untuk mencicil rumah dengan kepemilikan sendiri karena lebih menguntungkan.
Oleh sebab itu, tidak aneh jika sebagian orang rela mencari rumah dengan harga murah hingga pinggiran kota agar keinginan mereka memiliki rumah tercapai.
Dalam diskusi outlook pembiayaan perumahan Indonesia tahun 2018 di Jakarta, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti mengungkapkan rata-rata ada 800.000 unut permintaan rumah baru.
Tingginya permintaan rumah tentu menjadi peluang bisnis bagi bank-bank di Indonesia. Adanya kenaikan suku bunga acuan dapat menjadi landasan bagi mereka ikut menaikkan suku bunga KPR sehingga mendorong peningkatan pendapatan perusahaan.
Maka dari itu, tidak lah aneh jika suku bunga KPR menjadi salah satu bunga kredit yang paling sensitif dibandingkan suku bunga kredit lain seperti UMKM.
Pandangan Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) menilai kenaikan bunga di perbankan bukan semata-mata akibat kenaikan bunga acuan dari BI. Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara bank menyesuaikan bunga kreditnya karena adanya capital outflow.
"Kalau bunga BI tidak naik maka bunga pasar tetap akan naik karena capital outflow (yang mana capital outflow mengurangi jumlah uang beredar) Artinya bunga pasar tidak selalu mengikuti bunga BI dalam sistem ekonomi yang terbuka," papar Mirza kepada CNBC Indonesia.
"Contoh lain, bunga BI turun tapi bunga pasar bisa naik karena capital outflow semakin besar terjadi. Ini terjadi di Turki," imbuh Mirza.
Pada dasarnya, bank sentral menghendaki bunga bank bisa rendah. Namun, hal tersebut memang belum bisa untuk saat ini. "Saya juga ingin bunga di Indonesia hanya 1 persen tapi ternyata tidak bisa," katanya.
Link : https://www.cnbcindonesia.com/news/20180608073601-4-18383/mau-ambil-kpr-dengan-bunga-murah-bank-bank-ini-juaranya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar