Kisah Timor Leste yang Menyesal Pisah dari NKRI
Lebih dari dua dekade merdeka dari Indonesia, beberapa masyarakat Timor Leste justru merasa menyesal berat. Dalihnya, cita-cita kemerdekaan ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga. Fortunado D’Costa misalnya, mengungkapkan, ia merasa ditinggalkan pemerintah setempat.
“Bagi para veteran, mereka adalah pahlawan di masa lalu, tetapi sekarang mereka mengkhianati kami,” katanya, seperti diberitakan oleh Pos Kupang.
Ia mengaku menyesal lantaran sudah berperang melawan Indonesia dengan harapan agar bisa merdeka dan hidup makmur. Namun, ternyata semua itu cuma isapan jempol semata.
“Kami mendukung gerakan perlawanan, tetapi mereka yang mendukung pemerintah Indonesia masih hidup dengan baik,” tuturnya, dilansir dari Mina News.
“Hari ini kami memiliki kemerdekaan tetapi kami tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya perdamaian dan stabilitas,” tambahnya.
Sebagai informasi, saat ini ada sekitar 42 persen orang Timor hidup dalam garis kemiskinan. Bahkan ada yang sampai mengais-ngais sampah karena tak sanggup lagi membeli bahan makanan. Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tibar dekat Dili contohnya, dari anak-anak hingga orang tua berebut sampah demi mempertahankan hidup.
Tempat pembuangan sampah yang tidak diatur untuk sebagian besar sampah di Dili (termasuk asbes yang mematikan dan limbah rumah sakit yang tidak diolah) situs seluas tujuh hektar yang terletak di dalam perut lembah yang curam ini, merupakan bencana lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), “sekitar 100 ton limbah berbahaya dihasilkan setiap tahun di Dili dari kegiatan perawatan kesehatan saja. Karena tidak ada fasilitas pengolahan atau pembuangan terpusat yang tersedia untuk limbah semacam itu, mereka cukup sering dibuang bersama limbah kota di Tibar.”
Kemiskinan di Timor Leste juga didorong oleh ketergantungan berat negara itu pada sektor minyak. Padahal, seperti melansir News Hub, cadangan minyak bumi dan gas utama Timor Leste diprediksi hampir habis. Sementara pemerintah negara itu terus melakukan pemborosan.
Pemerintah Timor Leste memompa tabungannya dalam skema infrastruktur besar yang menurut para kritikus sangat boros. Pemerintah telah menghabiskan sekitar 300 juta dollar AS (Rp4,4 triliun) untuk Proyek Tasi Mane, proyek infrastruktur perminyakan di barat daya negara itu.
Selain Proyek Tasi Mane, pemerintah memompa ratusan juta untuk mengembangkan daerah kantong yang disebut Oecusse dan mengubahnya menjadi zona ekonomi khusus, yang diharapkan dapat menarik investasi asing.
Seorang wartawan dari New Zealand, yang bekerja sama dengan Asia New Zealand Foundation Caitin McGee, pernah melakukan penyelidikan ke Ibu Kota Dili, Timor Leste pada 2017.
Dia menggambarkan negara itu memiliki pegunungan terjal yang melingkari garis pantai yang masih asli. Timor Leste adalah salah satu keindahan alam dunia yang tak dikenal.
“Tetapi bagi orang-orang negara itu yang tinggal di daerah kumuh di sekitar ibu kota, menganggapnya sama sekali tidak indah,” katanya.
Kemiskinan yang melanda wilayah di ujung timur Pulau Timor tersebut turut ditopang dengan rilis data United Nations Development Programme (UNDP). Timor Leste berada di peringkat 152 negara sebagai negara termiskin di dunia dari 162 negara.
PDB per kapita Timor Leste diperkirakan mencapai US$2.350 atau sekitar Rp34,23 juta (kurs Rp4.532) pada Desember 2020. Masih di bawah pendapatan per kapita Indonesia pada 2019 lalu sebesar US$4.174,9 atau sekitar Rp60 juta, tulis Warta Ekonomi.
Sejumlah sektor ekonomi Timor Leste pun sebenarnya masih sangat bergantung pada Australia dan Indonesia, terutama barang-barang impor. Laman Heritage bahkan menyebutkan skor kebebasan ekonomi Timor Leste adalah 45,9. Skor tersebut menjadikan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia tersebut menduduki peringkat 171 negara di dunia dalam indeks 2020.
Melihat kondisi ekonomi di Timor Leste, tak heran jika setelah dua puluh tahun, ia masih melakukan yang terbaik untuk menyenangkan mantan tuannya di Jakarta. Itu karena Timor Leste masih sangat miskin.
Secara umum, orang-orang di sini jauh lebih bahagia daripada mereka lima, 10, atau 15 tahun yang lalu. Tetapi dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki sejarah yang sama baru-baru ini (seperti Kamboja), Timor Leste belum maju dalam urusan ekonomi.
Korupsi sering disalahkan pada kelompok - kelompok pro-Indonesia yang tidak pergi setelah 1999, dan pada orang-orang Timor yang melarikan diri tetapi kemudian kembali dari diaspora di Mozambik.
Kelompok-kelompok pimpinan pahlawan kemerdekaan seperti Xanana Gusmao (yang dipilih untuk menjabat setelah perang mereka dimenangkan), terkenal karena taktik gerilya dan keberanian mereka di hutan pegunungan terdekat, tetapi masalah ekonomi, bisnis, dan keuangan kota yang kurang lancar bukan keahlian terkuat mereka.
Ini masalah yang diperburuk oleh isolasi.
Kamboja telah berbagi perbatasan dengan ekonomi yang relatif berkembang di Thailand dan Vietnam, memiliki keanggotaan ASEAN dan perdagangan bebas di seluruh wilayah tersebut, dan posisi strategis yang telah menarik China dengan pengeluaran besar.
Timor Leste tidak memiliki itu semua, yang menambah ketergantungannya pada Indonesia, dan mengkompromikan hak-hak kedaulatannya atas apa yang dapat dan tidak dapat mereka katakan.