Kamis, 04 Juni 2020

Opini-Pendisiplinan Kenormalan Baru


Beberapa hari terakhir, pemerintah semakin gencar mewacanakan sebuah protokol kenormalan baru (new normal) dalam upaya menangani penyebaran Covid-19. Sejauh ini pemerintah telah merilis informasi bahwa protokol kenormalan baru tersebut akan melibatkan aparat TNI/Polri. Ratusan ribu aparat TNI/Polri akan diterjunkan di pusat-pusat keramaian publik sebagai ujung tombak pemerintah dalam "pendisiplinan" masyarakat untuk patuh pada protokol kenormalan yang akan diterapkan oleh pemerintah di beberapa daerah.

Untuk mendukung penugasan aparat TNI/Polri tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/334/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 bagi Aparat yang Melaksanakan Tugas Pengamanan dan Penertiban dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Protokol ini patut diapresiasi, mengingat aparat TNI/Polri juga membutuhkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya di tengah pandemi sekarang.

Meskipun demikian, aparat TNI/Polri tidak hanya butuh perlindungan dari penyebaran Covid-19 namun juga kejelasan akan tugas yang diamanahkan dalam era kenormalan baru. Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan beberapa catatan yang perlu dicermati terkait pelibatan aparat TNI/Polri dalam pendisiplinan di era kenormalan baru tersebut.

Permasalahan

Catatan pertama terkait masih belum jelasnya definisi jelas dari kata "pendisiplinan" yang akan menjadi tugas utama aparat TNI/Polri di era kenormalan baru. Hingga saat ini, belum ada keterangan yang komprehensif dari pihak pemerintah mengenai makna pendisiplinan tersebut. Sejauh ini, kata pendisiplinan sering dikaitkan erat dengan membangun kedisiplinan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Bagi anggota masyarakat yang menunjukkan tindakan indisipliner dalam kondisi pemberlakuan PSBB, maka aparat keamanan negara dapat memberikan sanksi berupa teguran atau sanksi sosial seperti misalnya, menyapu jalanan dengan mengenakan rompi pelanggar PSBB. Lantas, bagaimana dengan praktik pendisiplinan di era kenormalan baru? Apakah praktik yang sama seperti masa PSBBB juga akan diterapkan?

Di sinilah kemudian kita dapat menangkap permasalahan yang lebih besar bahwa pemerintah sebaiknya perlu mengklarifikasi secara lebih lugas apa perbedaan substansial antara pemberlakuan era kenormalan baru dan kebijakan PSBB. Apakah era kenormalan baru merupakan PSBB dengan modifikasi pembatasan sosial atau sebaliknya, sebuah kebijakan yang sama sekali berbeda dengan PSBB?

Ruang Lingkup

Mencapai sebuah kondisi disiplin dalam konteks nasional bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, catatan yang kedua adalah perlunya penentuan ruang lingkup pendisiplinan yang tepat sasaran. Kesan awal yang ditangkap publik sejauh ini adalah praktik pendisiplinan kenormalan baru akan dimulai di pusat-pusat perbelanjaan modern.

Terlebih lagi, muncul pendapat di masyarakat bahwa pendisiplinan dalam kenormalan baru dilakukan hanya untuk mendorong roda perekonomian berputar, khususnya di kota-kota besar. Padahal pola penyebaran Covid-19 tidak hanya menyasar pusat perbelanjaan modern atau mall di kota-kota besar, namun juga aktivitas ekonomi di pasar tradisional yang lebih merakyat. Artinya, pemerintah harus sadar betul bahwa era kenormalan baru bukanlah eksklusif diperuntukkan aktivitas perekonomian tertentu.

Era kenormalan baru harus menjangkau ke seluruh aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi dalam perekonomian kita baik itu di desa dan di kota. Sikap disiplin pada protokol kesehatan juga harus ditegakkan di pusat-pusat keramaian sosial lainnya, seperti misalnya di sekolah, rumah ibadah, atau sarana transportasi umum. Tentunya, setiap tempat memiliki ciri khas berbeda dan memerlukan praktik pendisiplinan yang sesuai juga.

Dalam penanganan kasus Covid-19 saat ini, pendekatan humanis tampaknya merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam memberikan kesadaran kepada masyarakat. Artinya, pemerintah tidak saja memikirkan pendekatan keamanan melalui perangkat keamanan negara. Tetapi juga harus selalu mengedepankan upaya untuk memberikan literasi yang cukup agar masyarakat menjadi terdidik dan sadar betul tentang betapa berbahayanya wabah Covid-19 dan pentingnya melakukan upaya pencegahan penyebaran wabah tersebut.

Mendisiplinkan masyarakat tanpa memberikan pengetahuan yang cukup tentang esensi sikap disiplin selama masa pandemi hanya akan melahirkan masalah baru, misalnya ketegangan antara masyarakat dan aparat keamanan negara. Setidaknya, hingga saat ini, kebutuhan untuk menangani wabah Covid-19 terletak pada beberapa hal.

Pertama, membangun kesadaran masyarakat dengan literasi dan narasi yang tepat. Hal ini dapat terlihat dari masukan-masukan publik bagi pemerintah untuk dapat memberikan informasi yang jelas dan komprehensif tentang jumlah kasus Covid-19, dan penggunaan kalimat yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat;

Kedua, mempersiapkan infrastruktur kesehatan yang lebih baik dan memadai. Jumlah kasus positif yang masih mengalami tren kenaikan pada kasus harian memberikan implikasi serius terhadap sektor kesehatan. Kebutuhan rumah sakit, rapid test atau PCR test menjadi hal yang utama. Dengan demikian kebutuhan pada sektor kesehatan menjadi kebutuhan prioritas.

Ketiga, menanggulangi dampak ekonomi dan sosial. Pembatasan sosial di hampir seluruh wilayah Indonesia memberikan dampak serius pada dunia usaha dan UMKM. Walaupun pemerintah telah menyusun skema bantuan kepada sektor-sektor ekonomi kecil dan menengah, namun pada praktiknya berbagai insentif dan bantuan kepada masyarakat di lapangan masih menemui berbagai kendala.

Keempat, sinergi antarsektor publik (termasuk sektor keamanan) yang baik dalam mencapai tujuan-tujuan penanggulangan wabah Covid-19. Kebutuhan atas sinergi antarsektor dibutuhkan dalam harmonisasi berbagai tindakan dan pernyataan. Dengan demikian, pendekatan keamanan melalui pelibatan TNI-Polri dalam menegakkan disiplin masyarakat bukan hanya satu-satunya jalan dalam menanggulangi wabah Covid-19

Tak Boleh Gegabah

Catatan terakhir adalah perlunya mekanisme pelibatan yang jelas dalam penugasan aktor keamanan negara untuk melakukan pendisiplinan di era kenormalan baru. Aparat TNI dan Polri memiliki mandat konstitusional yang berbeda dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Khusus TNI, tupoksinya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 yang terbagi atas operasi militer perang dan operasi militer selain perang.

Pelibatan TNI dalam pendisiplinan mungkin dapat dikaitkan dengan tugas operasi militer selain perang dan berdasarkan UU TNI sangat jelas dicantumkan bahwa pengerahan pasukan TNI harus berdasarkan keputusan politik pemerintah dan DPR. Bagaimanapun juga TNI adalah alat pertahanan negara yang lebih terlatih dalam skill tempur. Oleh karenanya, kita tidak boleh gegabah melibatkan TNI dalam misi non-tempur seperti pendisiplinan tanpa adanya batasan operasional yang tegas agar TNI tidak kehilangan skill tempurnya atau melampaui batas kewenangannya.

TNI merupakan alat pertahanan negara, maka mekanisme perlu disusun sejelas mungkin. Selain jumlah pasukan, hal lain yang mungkin perlu diatur adalah alur komando, jenis satuan yang di gelar, pengaturan logistik, dan model pertanggungjawaban kepada sipil. Karena sejatinya, UU tentang TNI dan juga UU tentang Polri tidak mengatur secara eksplisit tentang respons aparat terhadap persoalan wabah penyakit atau yang kita alami sebagai pandemi Covid-19 saat ini.

Persiapan Matang

Era kenormalan baru semakin digaungkan, namun kita masih belum melihat bentuk yang utuh dari kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut. Sama seperti sektor-sektor lainnya, upaya pendisiplinan oleh aparat keamanan dalam era kenormalan baru butuh persiapan yang sangat matang. Pemerintah juga harus disiplin dalam merancang kerangka legal dalam penanganan pandemi agar tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat.

Terminologi pendisiplinan, ruang lingkup pendisiplinan, dan mekanisme pelibatan aparat keamanan dalam pendisiplinan di era kenormalan nantinya harus berlandaskan dengan payung hukum yang kuat. Payung hukum ini diperlukan sebagai bagian dari mekanisme pengawasan demokratik. Pada prinsipnya, ada kebutuhan yang tidak bisa diabaikan dalam pengerahan alat pertahanan keamanan negara dalam kerangka demokratik yaitu: pengawasan.

Kondisi pandemi memang membutuhkan kecepatan dalam bertindak. Namun hal tersebut tidak kemudian memberikan ruang untuk menegasikan esensi Indonesia sebagai negara yang demokratis.

Tubagus Hasanuddin anggota Komisi I DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar