Gagasan new normal atau pola hidup baru di tengah wabah Covid-19 telah mengemuka. Pemerintah telah menerbitkan panduan terkait ketentuan dalam menghadapi normal baru dalam berkegiatan di luar rumah, khususnya di tempat kerja. Sedikitnya terdapat 25 daerah di empat provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo yang bersiap untuk melakukan pola hidup baru di tengah Covid-19
Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020. Secara terperinci, panduan pola hidup baru tersebut diatur sedemikian rupa. Secara umum, pola hidup baru tetap memiliki spirit pencegahan atas penularan Covid-19 ini.
Untuk menyambut new normal tersebut Presiden Jokowi juga telah melakukan kunjungan ke lapangan. Seperti mengunjungi stasiun MRT di Bundaran HI serta melakukan kunjungan di sebuah mal di Kota Bekasi. Satu titik tekan atas kunjungan tersebut, Presiden menegaskan agar aparat kepolisian dibantu aparat TNI untuk membantu pengawasan dalam pelaksanaan pola hidup baru dalam berkegiatan masyarakat.
Rencana memulai pola hidup baru di tengah situasi wabah Covid-19 ini dapat dimaklumi. Pasalnya, sejak wabah Covid-19 terjadi di Indonesia, sejak pertengahan Maret 2020 lalu, sejumlah aktivitas publik dilaksanakan di rumah. Seperti bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Selanjutnya pada awal akhir Maret, pemerintah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang secara umum melegalisasi praktik physical distancing dan sosial distancing melalui regulasi.
Aktivitas publik yang dilakukan di rumah itu pada akhirnya juga memberi dampak yang tidak kecil bagi perekonomian di Indonesia. Tak sedikit pekerja dirumahkan, bahkan banyak juga yang di-putus hubungan kerja (PHK). Karenanya, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait jaring pengaman sosial (social safe net) mulai dari kompensasi pembayaran tagihan listrik, bantuan sosial (bansos) sembako, hingga bantuan langsung tunai (BLT).
Di tengah rencana penerapan new normal di tengah pandemi Covid-19 ini, aktivitas luaran yang juga terimbas Covid-19 ini belum menjadi bahasan utama oleh pemerintah seperti pengaturan mengenai ibadah di tempat ibadah serta belajar di lembaga pendidikan. Lebih khusus lagi bagaimana pemerintah dalam mengelola ibadah di tempat ibadah serta belajar di lembaga pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren.
Masjid
Aktivitas di tempat ibadah selama tiga bulan terakhir ini secara umum telah dibatasi. Aktivitas ibadah Salat Jumat, ibadah selama Ramadhan seperti taraweh, tadarus dan ibadah-ibadah lainnya tak lagi dilaksanakan di masjid. Bahkan, Salat Idul fitri yang pekan lalu dilaksanakan masyarakat Indonesia, juga tak dilaksanakan di masjid. Meski, ada juga masjid yang tetap menggelar serangkaian ibadah selama Ramadhan, termasuk Salat Idul Fitri namun dengan menerapkan protokol kesehatan dengan memperhatikan pencegahan penularan Covid-19 secara ketat. Seperti memberi jarak antar-jamaah, menyiapkan sabun di area masjid, hingga tanpa ritual salam-salaman selepas ibadah.
Pembatasan ibadah di masjid dalam tiga bulan terakhir ini bukan tanpa resistensi. Publik kerap menyandingkan aktivitas ibadah di masjid dengan aktivitas di tempat publik lainnya seperti di pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal hingga bandara. Tak sedikit muncul rasa tidak nyaman saat membandingkan perlakuan yang dianggap berbeda antara aktivitas di masjid dengan tempat publik lainnya.
Resistensi yang muncul ini tidak terlepas dari penegakan pendisplinan oleh aparat yang masih lemah serta turut disumbang oleh kebijakan yang kerap membingungkan publik. Seperti kebijakan larangan mudik, namun di saat bersamaan dibuka akses penerbangan dengan klausul untuk kepentingan dinas. Ke depan, situasi demikian semestinya tak perlu muncul lagi.
Rencana dimulainya pola hidup baru di situasi pandemi Covid-19 ini, sebaiknya pemerintah bersama pemangku kepentingan seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam untuk berembuk mengenai pengaturan pola baru. Khususnya di daerah-daerah yang teridentifikasi sebagai zona merah atau zona kuning. Daerah yang dipastikan zona hijau, tentu aktivitas masjid dapat berjalan seperti sedia kala.
Pengaturan pola hidup baru di masjid ini penting untuk memastikan kebutuhan spiritual masyarakat agar dapat terpenuhi dengan baik. Di sisi lain, pengaturan ini juga penting bagi pemerintah untuk memberi pesan kepada publik bahwa kebutuhan spiritual menjadi elemen penting sebagai bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia selain kebutuhan material. Di samping juga, langkah ini untuk menepis stigma negatif terhadap pemerintah yang dianggap mengesampingkan ritual keagamaan dan lebih mementingkan aktivitas ekonomi seperti mal, pasar dan aktivitas di tempat publik lainnya.
Pengaturan pola hidup baru di tempat ibadah tentu harus tetap memerhatikan protokol kesehatan dengan tetap menjaga jarak, menggunakan masker dan lazimnya di semua tempat ibadah selalu mengedepankan hidup bersih dan sehat di lingkungan tempat ibadah.
Pesantren
Lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren sejak Maret lalu telah meliburkan aktivitasnya karena imbas wabah Covid-19. Kebijakan pengelola pondok pesantren yang memulangkan santrinya ini cukup responsif terkait wabah pandemi Covid-19. Kebijakan tepat di tengah ancaman penularan Covid-19. Hal ini terkonfirmasi tidak satupun pondok pesantren yang tertular oleh wabah Covid-19.
Meski demikian, selama pondok pesantren memulangkan santrinya ke rumah masing-masing, secara umum akivitas kegiatan belajar juga terhenti. Kegiatan seperti pengajian kitab secara sorogan termasuk pembelajaran materi tematik terhenti. Bila pun ada kegiatan pembelajaran jarak jauh, terbatas pada kegiatan tertentu seperti penyetoran hafalan santri kepada ustaznya melalui fasilitas digital. Situasi ini jika disandingkan dengan pendidikan formal tentu berbeda. Lembaga pendidikan formal selama pandemi ini, menerapkan pembelajaran secara virtual. Mulai tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi memanfaatkan fasilitas digital.
Situasi ini memberi gambaran secara konkret kondisi obyektif di pondok pesantren kita. Minimnya fasilitas di pondok pesantren khususnya layanan digital menjadi salah satu penyebab tidak adanya ruang pembelajaran virtual di pondok pesantren. Sayangnya juga, hingga tiga bulan terakhir ini, tidak ada rumusan yang ditawarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, terkait persoalan pendidikan keagamaan khususnya di pondok pesantren.
Kementerian Agama bersama pemangku kepentingan lainnya semestinya dapat merumuskan pembelajaran di pondok pesantren di situasi pola hidup baru di tengah pandemi Covid-19 ini. Upaya ini penting dilakukan, mengingat di pertengahan bulan Syawal ini (minggu kedua Juni), hampir seluruh pondok pesantren memulai aktivitas kegiatan belajar mengajarnya.
Terdapat skema yang dapat dipilih oleh pemerintah terkait keberlanjutan dan keberlangsungan pendidikan di pondok pesantren. Pertama, mensinkronkan dengan agenda pendidikan formal. Seperti saat ini tengah digodok mengenai jadwal ajaran baru bagi pendidikan formal apakah dimulai pada Juli atau di Desember atau awal tahun dengan mempertimbangkan penyebaran Covid-19 yang dianggap telah melandai Jika skenario ini ditempuh, tentu pilihan pembelajaran jarak jauh harus dilakukan. Penyediaan fasilitas bagi pondok pesantren dan santri harus disediakan dengan mempertimbangkan kekhasan pondok pesantren.
Kedua, aktivitas kegiatan belajar mengajar dilakukan seperti sedia kala dengan memerhatikan protokol kesehatan secara ketat. Para santri dilakukan rapid test atau swab untuk memastikan sebelum masuk ke lingkungan pondok pesantren dipastikan terbebas dari Covid-19. Di atas kertas, pemantauan aktivitas santri di lingkungan pondok pesantren relatif lebih terukur dibanding pendidikan formal di mana mobilitas siswa atau mahasiswa cenderung tinggi. Aktivitas santri dipastikan hanya berada di lingkungan pesantren saja. Hanya saja, fasilitas kesehatan di pondok pesantren tidak semua pesantren menyediakan. Pemerintah dapat memanfaatkan jejaring pusat kesehatan masyarakat (puskemas) yang tersebar di kecamatan-kecamatan untuk berkolaborasi dengan lembaga pendidikan pondok pesantren.
Pola hidup baru (new normal) idealnya tidak hanya di pusat-pusat ekonomi saja. Pusat penguatan mental (tempat peribadatan) dan nalar (lembaga pendidikan) semestinya juga mengikuti pola hidup baru di tengah Covid-19 dengan mempertimbangkan protokol kesehatan yang ketat. Setidaknya pemerintah memberi pesan ke publik bahwa, urusan perut, nalar dan mental menjadi hal penting dalam keberlanjutan pembangunan di Indonesia.
Arwani Thomafi Wakil Ketua Umum DPP PPP, Ketua Fraksi PPP MPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar