Kamis, 04 Juni 2020

Nasional-Analisis Zuhairi MisrawiKetidakpastian Arab Saudi Soal Haji


Kementerian Agama Republik Indonesia sudah memutuskan pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 2020. Alasan utamanya, karena pemerintah Arab Saudi tidak kunjung memberikan kepastian perihal penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Kemenag RI tidak mempunyai persiapan yang matang untuk keberangkatan jemaah haji yang rencananya akan dimulai pada 26 Juni, akhir bulan ini.

Jemaah haji asal Indonesia merupakan jemaah terbesar dari segi jumlah. Setidaknya ada sekitar 230.000 jemaah haji dari total jumlah jemaah haji dari keseluruhan yang jumlahnya mencapai 2.000.000 lebih jemaah haji. Jumlah khusus Indonesia, mengacu pada kuota 10 persen dari jumlah umat Islam di sebuah negara sesuai kesepakatan dalam Organisasi Kerjasama Negara-Negara Islam.

Di masa normal saja, persiapan penyelenggaraan ibadah haji bagi Indonesia membutuhkan persiapan yang matang, karena tidak mudah memberikan pelayanan yang maksimal dan optimal. Pada tahun-tahun lalu, kita melihat pelayanan ibadah haji yang belum memuaskan, karena memang kita harus mempersiapkan pelayanan bagi jemaah haji dalam jumlah yang besar. Pelayanan tersebut tidak hanya di Arab Saudi, melainkan juga di dalam negeri.

Di tengah pandemi, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan pelayanan yang sesuai dengan protokol World Health Organization (WHO), yang selama ini biasa diterapkan. Yaitu 14 hari masa karantina sebelum berangkat, dan 14 hari masa karantina sebelum kepulangan. Belum lagi, tes Covid-19 terhadap setiap calon jemaah haji.

Jadi, bagi Kemenag RI yang mempunyai mandat dari pemerintah untuk menjadi penyelenggara ibadah haji tidaklah mudah, karena semuanya berdampak pada kesiapan infrastruktur, termasuk pembengkakan biaya, jika haji dipaksakan dilaksanakan bagi jemaah haji asal Indonesia. Lebih dari itu, ibadah haji di tengah pandemi sudah bisa dipastikan dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak sederhana bagi kesehatan, yang jika tidak ditangani dengan baik dan hati-hati akan berdampak bagi keselamatan jiwa.

Akhirnya, pemerintah RI memandang bahwa untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs), sebagaimana digarisbawahi dalam Maqashid al-Syari'ah, maka jemaah haji Indonesia batal diberangkatkan pada tahun ini. Menjalankan ibadah haji merupakan sebuah ibadah dalam rangka menjaga agama (hifd al-din). Tapi jangan lupa, bahwa hifd al-din harus sejalan dengan hifd al-nafs). Namun persoalannya, kenapa Pemerintah Arab Saudi hingga saat ini tidak memberikan kepastian tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun ini? Apa sebenarnya yang terjadi?

Semua negara menunggu dengan penuh cemas dan debar perihal keputusan Arab Saudi dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Padahal dalam hal penyelenggaraan umrah, Arab Saudi sangat cepat dan tegas mengumumkan larangan ibadah umrah bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tidak lama setelah itu, Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah langsung ditutup untuk umum.

Namun dalam hal penyelenggaraan ibadah haji, Arab Saudi terkesan lamban, seolah-olah masih memberikan harapan bagi jemaah haji untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini. Hal tersebut sebenarnya tidak hanya terkait dengan persoalan teologis yang terdapat dalam ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam, melainkan juga terkait dengan ibadah haji sebagai salah satu sumber ekonomi bagi Arab Saudi.

Kita tahu bahwa pandemi benar-benar memukul ekonomi Arab Saudi. Salah satunya karena harga minyak yang terus menurun tajam akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Fakta ini mengancam megaproyek yang direncanakan Muhammad bin Salman (MBS), Neom 2030. Di tengah ekonomi yang sedang morat-morat, Arab Saudi menaikkan pajak, yang itu justru diputuskan pada momen pandemi yang semestinya memberikan ruang bernafas bagi warga.

Dampak yang tak terelakkan, popularitas MBS yang digadang-gadang sebagai suksesor Raja Salman bin Abdul Aziz mulai dipertanyakan. Mulai muncul pandangan, bahwa MBS tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni untuk melanjutkan kepemimpinan di masa depan. Belum lagi, kasus kematian Jamal Khashoggi yang menjadi beban sejarah, karena MBS dianggap berlumuran darah. Sampai kapan pun MBS akan selalu dikaitkan dengan kematian mantan jurnalis itu.

Intinya, Arab Saudi sepertinya masih membuka ruang harapan bagi penyelenggaraan ibadah haji pada tahun ini. Ada dua pilihan yang bisa diambil Arab Saudi soal penyelenggaraan haji pada tahun ini. Pertama, haji tetap digelar tetapi dalam skala sangat terbatas dengan jumlah yang sangat terbatas pula. Beberapa negara seperti Pakistan sudah menyampaikan usulan agar haji tetap digelar dengan kuota yang sangat terbatas. Jika harus digelar, maka hanya bagi warga Arab Saudi dalam jumlah yang kecil sebagai ritual simbolik bahwa haji tahun ini tetap digelar.

Kedua, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dibatalkan karena mengingat kesulitan dalam menerapkan protokol kesehatan dalam seluruh kegiatan ibadah haji. Toh, ibadah haji pernah dibatalkan pada tahun-tahun sebelumnya saat pandemi dan situasi perang yang mana keamanan dan keselamatan jemaah terganggu.

Apapun keputusan haji tahun ini berada di tangan Raja Salman bin Abdul Aziz sebagai pelayan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi (khadim al-haramain). Perlu waktu yang tepat untuk memutuskan secara final perihal penyelenggaraan ibadah haji tahu ini.

Dan sikap pemerintah Indonesia yang terlebih dahulu memutuskan pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun ini patut diapresiasi. Setidaknya dapat menginspirasi pemerintah Arab Saudi bahwa sebaiknya penyelenggaraan ibadah tahun ini dibatalkan demi keselamatan jiwa dan meninggalkan bahaya yang lebih besar. Alasannya, karena tidak mudah menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi.

Zuhairi Misrawi cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar