Sebelum adanya wabah Covid-19, seluruh dunia terbiasa berbicara tentang Revolusi 4.0 dan disrupsi. Tidak pernah ada yang bisa membayangkan ternyata Covid-19 menjalankan tugas disrupsi secara masif. Terjadi kejutan (shock) dalam semua lini kehidupan manusia.
Barangkali ini masa ketika ucapan motivator mengenai "tinggalkan zona nyamanmu" menjadi sangat relevan. Kita perlu membaca kembali petuah filsuf, bahwa yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Kita juga perlu membuka kembali kitab suci bahwa dunia ini hanya sementara. Jangan-jangan selama ini kita begitu terlena dengan apa yang ada dan menganggapnya akan abadi, tidak berubah.
Semua berubah, bahkan begitu banyak yang berubah tidak bisa kita kendalikan. Kita hanya mampu beradaptasi menghadapi situasi baru dan berusaha mengatasinya secara bertahap. Seperti kita lihat, tidak satu pun negara yang siap menghadapi pandemi Covid-19 ini. Bahkan negara besar seperti Amerika Serikat juga mengalami kesulitan untuk sesegera mungkin mengatasi dampak dari pandemi Covid-19.
Usaha-usaha untuk menemukan antivirus masih terus dilakukan, namun masih jauh dari kata selesai. Salah satu jalan yang dianggap cukup rasional adalah hidup berdampingan dengan Covid-19 dan tetap mengikuti protokol kesehatan atau yang popular dikenal sebagai new normal. Di Indonesia sendiri, konsep ini sudah mulai ramai dibicarakan. Para pengambil kebijakan tampaknya mulai memberikan aba-aba untuk melaksanakan new normal di beberapa titik atau zona yang dianggap hijau, zona yang penyebaran virusnya tidak terlalu masif.
Pengertian umum new normal di Indonesia adalah bagaimana hidup berdampingan dengan Covid-19. Jadi meskipun bekerja dan hadir di kantor, pola penjagaan diri masih harus sesuai protokol kesehatan agar tidak terjangkit virus Covid-19. Hal ini mungkin yang membenarkan istilah tidak ada trade-off antara kesehatan dan ekonomi. Keduanya bisa dilakukan bersamaan. Bekerja seperti biasa (ekonomi) dan tetap menjaga kesehatan.
Meskipun pengertian new normal diartikan dengan kembali bekerja di kantor atau di pabrik, ternyata pengertian ini tidak monolitik. Contohnya ada 6 perusahaan besar yang mengartikan new normal sebagai work from home (WFH). Facebook memperkirakan 50% karyawannya akan bekerja dari rumah atau WFH sebagai new normal perusahaan. Twitter mengizinkan karyawan bekerja dari rumah.
Kesempatan Kedua
Steve Brooks dalam The New Normal: How Covid-19 changed us all (2020) melihat meskipun kita harus beradaptasi dengan cara-cara baru, ternyata terselip peluang atau kesempatan di sana. Kesempatan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru sekaligus merefleksi diri untuk mengarungi perjalanan ke depan. Apa yang masih kurang dan masih perlu ditambahkan dalam diri kita. Seperti kesempatan kedua bagi kita untuk melakukan perubahan pada diri kita, organisasi maupun masyarakat, tempat kita tinggal, bekerja, dan bersosialisasi.
Di dunia pendidikan, guru dan dosen akhirnya berkesempatan untuk meningkatkan keterampilan diri untuk belajar perangkat-perangkat mengajar secara live session. Suatu pengalaman yang mungkin sebelumnya diremehkan dan hanya didengar melalui seminar-seminar Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya guru, para siswa juga dipaksa untuk dekat dengan pola pembelajaran daring. Artinya para siswa harus sebisa mungkin lebih aktif dari biasanya.
New normal dunia pendidikan di Indonesia bisa saja mengombinasikan keduanya, tatap muka dan daring. Di perguruan tinggi misalnya sudah ada sistem blended learning yang mengombinasikan tatap muka dan daring.
Di media sosial Twitter, pedagang-pedagang yang terdampak Covid-19 mendapat endorse dari influencer agar dagangannya laris. Solidaritas serupa atau cara-cara baru serupa juga terjadi di platform media sosial lainnya. Tidak ketinggalan beberapa akun media sosial partai politik juga membagikan kepedulian mereka terhadap masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Meski di sisi lain, anggota DPR dikritik karena terlihat kurang sensitif saat memilih membahas dan mengesahkan RUU yang selama ini masih cukup hangat diperdebatkan. Banyak kalangan menilai, ada baiknya DPR menunggu dan mengalihkan perhatian kepada penanganan dampak pandemi Covid-19. Suatu permintaan yang wajar dari rakyat kepada wakilnya.
Dalam dunia bisnis, memang begitu banyak kerugian yang diakibatkan pandemi ini. Aktivitas bisnis yang berhenti mengakibatkan kerugian dan beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan selama masa pandemi, industri pariwisata rugi sekitar Rp 21 triliun (bisnis.com, April 2020).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kerugian akibat pandemi mencapai 9 triliun dolar AS sepanjang 2020-2021. Nominal itu dikatakannya setara dengan ekonomi Jerman dan Jepang (wartaekonomi, Mei 2020). Memang cukup berat, tetapi kesempatan untuk mengubah cara pandang terhadap bisnis akan menentukan langkah selanjutnya. Cara pandang agar lebih kreatif adalah salah satunya. Jika di masa lalu kreativitas adalah bagian dari khotbah, di masa pandemi ini menjadi nyata dan harus dilakukan.
Dalam kehidupan keluarga, orang-orang dipaksa kembali ke keluarga intinya, secara literal. Kepadatan pekerjaan dan jarak yang jauh dari kantor ke rumah membuat relasi dengan keluarga inti selama ini relatif hanya mampu memanfaatkan weekend untuk berkomunikasi. Itu pun terkadang weekend juga dipakai bekerja ke luar kota. Situasi pandemi ini mengubahnya.
Orangtua di perkotaan yang selama ini hanya menitipkan anaknya kepada guru untuk dididik, merasakan (untuk tidak mengatakan dipaksa) mendampingi anaknya belajar. Ini kesempatan kedua kita. Jika sebelum pandemi kita merasa cukup bekerja saja menghasilkan uang. Pada kesempatan kali ini, kita diberi waktu untuk lebih banyak bersama anak-anak, bersama istri. Seperti pesan agama, jagalah keluargamu dari api neraka. Itu bisa menjadi refleksi kita.
Mungkin satu-satunya urusan yang tidak memanfaatkan kesempatan kedua adalah pergaulan dunia internasional. Meski bersusah payah menghadapi pandemi, masih kita dengar pertikaian antarnegara yang kontraproduktif terhadap upaya untuk keluar dari krisis pandemi. Amerika Serikat dan China masih bersitegang. Bahkan sebelum terjadinya pandemi, perang dagang kedua negara merugikan ekonomi banyak negara lainnya.
Padahal sebenarnya, negara-negara di dunia mendapat kesempatan kedua untuk membangun solidaritas. Daripada sibuk bertikai, lebih baik energi diarahkan untuk bersama-sama keluar dari krisis pandemi ini dan melanjutkan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Tidak ada alasan untuk berputus asa, seperti kata Brooks, bisnis atau urusan Anda (kita) alih-alih berakhir. Sebenarnya kita semua baru mulai. Jangan berusaha hidup di masa lalu, mari kita ambil kesempatan kedua kita untuk mengubah cara pandang dan memperbaiki diri dan organisasi) kita segera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar