Senin, 15 Juni 2020

Silat-Untuk para dulu-dulur warga PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate)

Untuk para dulu-dulur warga PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate)
Ingatlah pepatah yang "Ngeluruk Tanpo Bolo Menang Tanpo Ngasorake"

Itu adalah Salah Satu petuah dan ajaran dari PSHT, organisasi yang selalu mengutamakan persaudaraan dalam setiap perbuatan. Selanjutnya juga ada petuah dan ajaran PSHT yang berbunyi "Tau Benar Dan Salah". Sebagai warga PSHT yang mengutamakan Persaudaraan, maka setiap tindakan harus didasari tau benar dan salah, apakah tindakan kita ini benar atau salah.

Menyingkapi adanya persidangan terkait masalah di dalam organisasi PSHT, warga PSHT diharapkan bisa selalu berpikir positif dan mengutamakan persaudaraan dalam mengambil setiap keputusan, supaya tidak menciderai nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh para sesepuh PSHT.

Diharapkan setiap warga PSHT yang ingin mengikuti dan mengetahui jalannya persidangan permasalahan internal PSHT, bisa mengikuti persidangan secara online untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi di tempat pengadilan.

Berkenaan dengan penyelesaian lebih lanjut masalah internal PSHT di pengadilan dan sebagainya, mari percayakan sepenuhnya kepada pengurus pusat yang lebih paham dengan cara yang arif bijaksana, baik melalui cara persuasif persaudaraan maupun langkah-langkah hukum jika diperlukan.

Selanjutnya untuk semua warga PSHT dimanapun berada, mari kita ajak sedulur-dulur PSHT semuanya untuk kembali nyawiji, bersatu karena hakekatnya kita semua adalah saudara.

Kita segarkan kembali ikrar sumpah kita bersama untuk mentaati aturan PSHT, dan kesanggupan kita untuk memelihara persaudaraan secara lahir dan batin, dengan saling mengamati-amati, saling menyayangi, saling hormat menghormati dan saling bertanggung jawab.

Stop hujat menghujat dan kedepankan nilai-nilai kasih sayang seperti yg selalu di pesankan oleh para sesepuh PSHT.

Kamis, 04 Juni 2020

Politik-Pimpinan MPR Sebut Isu Pemakzulan di Tengah Pandemi Hanya Buang Energi

Pimpinan MPR Sebut Isu Pemakzulan di Tengah Pandemi Hanya Buang Energi
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan di tengah suasana duka akibat pandemi COVID-19 dan anak bangsa tengah meresapi hari kelahiran Pancasila, menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema pemakzulan hanya akan menguras energi dan menuai kritik masyarakat luas.

Meskipun, kata dia, kegiatan diskusi merupakan ekspresi demokrasi untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Hal itu diucapkannya menanggapi dua diskusi online yang mengangkat tema pemakzulan presiden lalu menyedot perhatian publik.

"Itu memang hak setiap warga negara menyampaikan pendapat, tapi harus juga diingat, menyampaikan pendapat itu harus disertai tanggung jawab dan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," tandas Basarah dalam keterangannya, Kamis (4/6/2020).

Sebagai informasi, dalam sepekan terakhir, ada dua diskusi yang membahas pemakzulan presiden. Diskusi webinar pertama diselenggarakan oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang mengangkat tema 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Lalu diskusi webinar kedua bertajuk 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Corona' yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute.

Menurut Basarah, dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum disebutkan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan. dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi selain bertanggung jawab dan harus sesuai peraturan perundang-undangan, Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini menilai bahwa dalam menyampaikan pendapat, setiap orang perlu mengedepankan aspek etika dan moral.

''Demokrasi memerlukan peraturan perundang-undangan agar cara kita hidup bernegara ini berada di jalan yang benar (on the right track). Begitu pula hukum, ia harus berjalan paralel dengan etika dan moral. Perlu harmonisasi antara demokrasi, hukum, etika dan moral," tutur doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini.

Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan ini, tema terkait pemakzulan presiden sudah kerap terjadi baik di mimbar akademik maupun forum lain, tapi sejauh ini tidak terlalu menimbulkan resistensi dan kegaduhan.

Ia mempertanyakan lantas mengapa belakangan wacana pemakzulan presiden menimbulkan reaksi penolakan publik secara luas. Menurutnya, fenomena penolakan dan kritis pedas publik ini mestinya menjadi bahan koreksi buat pihak penyelenggara diskusi.

Fokus koreksi bukan pada aspek kegiatan dan tema diskusi, tapi lebih pada persoalan momentum yang tidak tepat karena diskusi itu dilakukan di tengah situasi keprihatinan ketika bangsa sedang berduka menghadapi pandemi COVID-19 dan berbarengan dengan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni.

"Semestinya, semua pihak turut prhatin jika melihat data per 3 Juni, jumlah korban terinfeksi COVID-19 mencapai 28.233 orang. Jumlah korban meninggal dunia mencapai1.698 orang, belum lagi harus menerima dampak COVID-19 yang multidimensi. Jadi dalam kondisi susah seperti ini mestinya semua pihak kompak mencari solusi, bukan mencari nama," ujarnya.

"Bukankah Pancasila yang menjadi ideologi negara kita mengajarkan lima falsafah hidup yang sangat berarti buat kita hidup bersama sebagai bangsa. Mulai dari falsafah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, sampai keadilan sosial?" Imbuh Basarah.

Basarah berharap dalam menghadapi wabah COVID-19, hendaknya semua komponen bangsa memiliki sense of crisis, tepo seliro, dan kepekaan sosial seperti yang terkandung dalam kelima sila Pancasila serta tidak menjadikan demokasi sekadar tameng kebebasan berpendapat, tapi senyatanya itu merupakan ungkapan sakit hati, tidak legowo, dan sejenisnya.

"Dalam situasi pandemi sekarang ini, seharusnya seluruh komponen masyarakat bahu membahu dan gotong-royong dalam menghadapi virus corona dan mengatasi dampak pandemi yang multidimensi. Dengan gotong-royong dan disiplin kita mampu melewati wabah corona ini dengan keberhasilan," tandas Basarah.

Source : detik .com

Kesehatan-100 Persen Pasien di RSKI Pulau Galang Sembuh dari Corona

100 Persen Pasien di RSKI Pulau Galang Sembuh dari Corona

Semua pasien di Rumah Sakit Khusus Infeksi COVID-19 (RSKI) Pulau Galang, Provinsi Riau, dinyatakan sembuh dari virus Corona (COVID-19). Total ada 150 pasien.

"Sejak beroperasi tanggal 13 April, kami sudah menerima 150 pasien, dan alhamdulillah semuanya sembuh. Sekarang tinggal tersisa 49 pasien yang sedang kami rawat" ujar Direktur RSKI, Khairul Ihsan Nasution, dalam keterangan tertulis dengan judul 'Mahfud MD Bersyukur Pasien COVID-19 di RSKI Pulau Galang 100 Persen Sembuh', Jumat (5/6/2020).

Menko Polhukam Mahfud MD, sempat melakukan peninjauan ke RSKI Pulau Galang pada Kamis (4/6). Mahfud gembira dan bersyukur 100 persen pasien yang dirawat, dinyatakan sembuh.

"RSKI COVID Pulau Galang ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak main-main dalam mengatasi Corona, karena meski baru terbangun bulan April, keputusan untuk mengadakan rumah sakit khusus COVID ini diputuskan sejak tanggal 6 Februari 2020, sebelum di Indonesia ditemukan pasien positif pada tanggal 2 Maret" ujar Mahfud.

Mahfud juga memperoleh kabar soal adanya sejumlah tenaga medis yang belum menerima insentif. Mahfud berjanji akan menyampaikan keluhan tenaga medis ke pemerintah pusat.

"Kami akan segera sampaikan ke Jakarta tentang insentif yang belum diterima oleh para dokter dan tenaga kesehatan itu, semoga bisa segera ada kabar baik," ujar Mahfud.

Source : detik. com

Opini-New Normal" dan Kesempatan Kedua



Sebelum adanya wabah Covid-19, seluruh dunia terbiasa berbicara tentang Revolusi 4.0 dan disrupsi. Tidak pernah ada yang bisa membayangkan ternyata Covid-19 menjalankan tugas disrupsi secara masif. Terjadi kejutan (shock) dalam semua lini kehidupan manusia.

Barangkali ini masa ketika ucapan motivator mengenai "tinggalkan zona nyamanmu" menjadi sangat relevan. Kita perlu membaca kembali petuah filsuf, bahwa yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Kita juga perlu membuka kembali kitab suci bahwa dunia ini hanya sementara. Jangan-jangan selama ini kita begitu terlena dengan apa yang ada dan menganggapnya akan abadi, tidak berubah.

Semua berubah, bahkan begitu banyak yang berubah tidak bisa kita kendalikan. Kita hanya mampu beradaptasi menghadapi situasi baru dan berusaha mengatasinya secara bertahap. Seperti kita lihat, tidak satu pun negara yang siap menghadapi pandemi Covid-19 ini. Bahkan negara besar seperti Amerika Serikat juga mengalami kesulitan untuk sesegera mungkin mengatasi dampak dari pandemi Covid-19.

Usaha-usaha untuk menemukan antivirus masih terus dilakukan, namun masih jauh dari kata selesai. Salah satu jalan yang dianggap cukup rasional adalah hidup berdampingan dengan Covid-19 dan tetap mengikuti protokol kesehatan atau yang popular dikenal sebagai new normal. Di Indonesia sendiri, konsep ini sudah mulai ramai dibicarakan. Para pengambil kebijakan tampaknya mulai memberikan aba-aba untuk melaksanakan new normal di beberapa titik atau zona yang dianggap hijau, zona yang penyebaran virusnya tidak terlalu masif.

Pengertian umum new normal di Indonesia adalah bagaimana hidup berdampingan dengan Covid-19. Jadi meskipun bekerja dan hadir di kantor, pola penjagaan diri masih harus sesuai protokol kesehatan agar tidak terjangkit virus Covid-19. Hal ini mungkin yang membenarkan istilah tidak ada trade-off antara kesehatan dan ekonomi. Keduanya bisa dilakukan bersamaan. Bekerja seperti biasa (ekonomi) dan tetap menjaga kesehatan.

Meskipun pengertian new normal diartikan dengan kembali bekerja di kantor atau di pabrik, ternyata pengertian ini tidak monolitik. Contohnya ada 6 perusahaan besar yang mengartikan new normal sebagai work from home (WFH). Facebook memperkirakan 50% karyawannya akan bekerja dari rumah atau WFH sebagai new normal perusahaan. Twitter mengizinkan karyawan bekerja dari rumah.

Kesempatan Kedua

Steve Brooks dalam The New Normal: How Covid-19 changed us all (2020) melihat meskipun kita harus beradaptasi dengan cara-cara baru, ternyata terselip peluang atau kesempatan di sana. Kesempatan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru sekaligus merefleksi diri untuk mengarungi perjalanan ke depan. Apa yang masih kurang dan masih perlu ditambahkan dalam diri kita. Seperti kesempatan kedua bagi kita untuk melakukan perubahan pada diri kita, organisasi maupun masyarakat, tempat kita tinggal, bekerja, dan bersosialisasi.

Di dunia pendidikan, guru dan dosen akhirnya berkesempatan untuk meningkatkan keterampilan diri untuk belajar perangkat-perangkat mengajar secara live session. Suatu pengalaman yang mungkin sebelumnya diremehkan dan hanya didengar melalui seminar-seminar Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya guru, para siswa juga dipaksa untuk dekat dengan pola pembelajaran daring. Artinya para siswa harus sebisa mungkin lebih aktif dari biasanya.

New normal dunia pendidikan di Indonesia bisa saja mengombinasikan keduanya, tatap muka dan daring. Di perguruan tinggi misalnya sudah ada sistem blended learning yang mengombinasikan tatap muka dan daring.

Di media sosial Twitter, pedagang-pedagang yang terdampak Covid-19 mendapat endorse dari influencer agar dagangannya laris. Solidaritas serupa atau cara-cara baru serupa juga terjadi di platform media sosial lainnya. Tidak ketinggalan beberapa akun media sosial partai politik juga membagikan kepedulian mereka terhadap masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

Meski di sisi lain, anggota DPR dikritik karena terlihat kurang sensitif saat memilih membahas dan mengesahkan RUU yang selama ini masih cukup hangat diperdebatkan. Banyak kalangan menilai, ada baiknya DPR menunggu dan mengalihkan perhatian kepada penanganan dampak pandemi Covid-19. Suatu permintaan yang wajar dari rakyat kepada wakilnya.

Dalam dunia bisnis, memang begitu banyak kerugian yang diakibatkan pandemi ini. Aktivitas bisnis yang berhenti mengakibatkan kerugian dan beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan selama masa pandemi, industri pariwisata rugi sekitar Rp 21 triliun (bisnis.com, April 2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kerugian akibat pandemi mencapai 9 triliun dolar AS sepanjang 2020-2021. Nominal itu dikatakannya setara dengan ekonomi Jerman dan Jepang (wartaekonomi, Mei 2020). Memang cukup berat, tetapi kesempatan untuk mengubah cara pandang terhadap bisnis akan menentukan langkah selanjutnya. Cara pandang agar lebih kreatif adalah salah satunya. Jika di masa lalu kreativitas adalah bagian dari khotbah, di masa pandemi ini menjadi nyata dan harus dilakukan.

Dalam kehidupan keluarga, orang-orang dipaksa kembali ke keluarga intinya, secara literal. Kepadatan pekerjaan dan jarak yang jauh dari kantor ke rumah membuat relasi dengan keluarga inti selama ini relatif hanya mampu memanfaatkan weekend untuk berkomunikasi. Itu pun terkadang weekend juga dipakai bekerja ke luar kota. Situasi pandemi ini mengubahnya.

Orangtua di perkotaan yang selama ini hanya menitipkan anaknya kepada guru untuk dididik, merasakan (untuk tidak mengatakan dipaksa) mendampingi anaknya belajar. Ini kesempatan kedua kita. Jika sebelum pandemi kita merasa cukup bekerja saja menghasilkan uang. Pada kesempatan kali ini, kita diberi waktu untuk lebih banyak bersama anak-anak, bersama istri. Seperti pesan agama, jagalah keluargamu dari api neraka. Itu bisa menjadi refleksi kita.

Mungkin satu-satunya urusan yang tidak memanfaatkan kesempatan kedua adalah pergaulan dunia internasional. Meski bersusah payah menghadapi pandemi, masih kita dengar pertikaian antarnegara yang kontraproduktif terhadap upaya untuk keluar dari krisis pandemi. Amerika Serikat dan China masih bersitegang. Bahkan sebelum terjadinya pandemi, perang dagang kedua negara merugikan ekonomi banyak negara lainnya.

Padahal sebenarnya, negara-negara di dunia mendapat kesempatan kedua untuk membangun solidaritas. Daripada sibuk bertikai, lebih baik energi diarahkan untuk bersama-sama keluar dari krisis pandemi ini dan melanjutkan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Tidak ada alasan untuk berputus asa, seperti kata Brooks, bisnis atau urusan Anda (kita) alih-alih berakhir. Sebenarnya kita semua baru mulai. Jangan berusaha hidup di masa lalu, mari kita ambil kesempatan kedua kita untuk mengubah cara pandang dan memperbaiki diri dan organisasi) kita segera

Opini-New Normal" di Masjid dan Pesantren


Gagasan new normal atau pola hidup baru di tengah wabah Covid-19 telah mengemuka. Pemerintah telah menerbitkan panduan terkait ketentuan dalam menghadapi normal baru dalam berkegiatan di luar rumah, khususnya di tempat kerja. Sedikitnya terdapat 25 daerah di empat provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo yang bersiap untuk melakukan pola hidup baru di tengah Covid-19

Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020. Secara terperinci, panduan pola hidup baru tersebut diatur sedemikian rupa. Secara umum, pola hidup baru tetap memiliki spirit pencegahan atas penularan Covid-19 ini.

Untuk menyambut new normal tersebut Presiden Jokowi juga telah melakukan kunjungan ke lapangan. Seperti mengunjungi stasiun MRT di Bundaran HI serta melakukan kunjungan di sebuah mal di Kota Bekasi. Satu titik tekan atas kunjungan tersebut, Presiden menegaskan agar aparat kepolisian dibantu aparat TNI untuk membantu pengawasan dalam pelaksanaan pola hidup baru dalam berkegiatan masyarakat.

Rencana memulai pola hidup baru di tengah situasi wabah Covid-19 ini dapat dimaklumi. Pasalnya, sejak wabah Covid-19 terjadi di Indonesia, sejak pertengahan Maret 2020 lalu, sejumlah aktivitas publik dilaksanakan di rumah. Seperti bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Selanjutnya pada awal akhir Maret, pemerintah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang secara umum melegalisasi praktik physical distancing dan sosial distancing melalui regulasi.

Aktivitas publik yang dilakukan di rumah itu pada akhirnya juga memberi dampak yang tidak kecil bagi perekonomian di Indonesia. Tak sedikit pekerja dirumahkan, bahkan banyak juga yang di-putus hubungan kerja (PHK). Karenanya, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait jaring pengaman sosial (social safe net) mulai dari kompensasi pembayaran tagihan listrik, bantuan sosial (bansos) sembako, hingga bantuan langsung tunai (BLT).

Di tengah rencana penerapan new normal di tengah pandemi Covid-19 ini, aktivitas luaran yang juga terimbas Covid-19 ini belum menjadi bahasan utama oleh pemerintah seperti pengaturan mengenai ibadah di tempat ibadah serta belajar di lembaga pendidikan. Lebih khusus lagi bagaimana pemerintah dalam mengelola ibadah di tempat ibadah serta belajar di lembaga pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren.

Masjid

Aktivitas di tempat ibadah selama tiga bulan terakhir ini secara umum telah dibatasi. Aktivitas ibadah Salat Jumat, ibadah selama Ramadhan seperti taraweh, tadarus dan ibadah-ibadah lainnya tak lagi dilaksanakan di masjid. Bahkan, Salat Idul fitri yang pekan lalu dilaksanakan masyarakat Indonesia, juga tak dilaksanakan di masjid. Meski, ada juga masjid yang tetap menggelar serangkaian ibadah selama Ramadhan, termasuk Salat Idul Fitri namun dengan menerapkan protokol kesehatan dengan memperhatikan pencegahan penularan Covid-19 secara ketat. Seperti memberi jarak antar-jamaah, menyiapkan sabun di area masjid, hingga tanpa ritual salam-salaman selepas ibadah.

Pembatasan ibadah di masjid dalam tiga bulan terakhir ini bukan tanpa resistensi. Publik kerap menyandingkan aktivitas ibadah di masjid dengan aktivitas di tempat publik lainnya seperti di pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal hingga bandara. Tak sedikit muncul rasa tidak nyaman saat membandingkan perlakuan yang dianggap berbeda antara aktivitas di masjid dengan tempat publik lainnya.

Resistensi yang muncul ini tidak terlepas dari penegakan pendisplinan oleh aparat yang masih lemah serta turut disumbang oleh kebijakan yang kerap membingungkan publik. Seperti kebijakan larangan mudik, namun di saat bersamaan dibuka akses penerbangan dengan klausul untuk kepentingan dinas. Ke depan, situasi demikian semestinya tak perlu muncul lagi.

Rencana dimulainya pola hidup baru di situasi pandemi Covid-19 ini, sebaiknya pemerintah bersama pemangku kepentingan seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam untuk berembuk mengenai pengaturan pola baru. Khususnya di daerah-daerah yang teridentifikasi sebagai zona merah atau zona kuning. Daerah yang dipastikan zona hijau, tentu aktivitas masjid dapat berjalan seperti sedia kala.

Pengaturan pola hidup baru di masjid ini penting untuk memastikan kebutuhan spiritual masyarakat agar dapat terpenuhi dengan baik. Di sisi lain, pengaturan ini juga penting bagi pemerintah untuk memberi pesan kepada publik bahwa kebutuhan spiritual menjadi elemen penting sebagai bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia selain kebutuhan material. Di samping juga, langkah ini untuk menepis stigma negatif terhadap pemerintah yang dianggap mengesampingkan ritual keagamaan dan lebih mementingkan aktivitas ekonomi seperti mal, pasar dan aktivitas di tempat publik lainnya.

Pengaturan pola hidup baru di tempat ibadah tentu harus tetap memerhatikan protokol kesehatan dengan tetap menjaga jarak, menggunakan masker dan lazimnya di semua tempat ibadah selalu mengedepankan hidup bersih dan sehat di lingkungan tempat ibadah.

Pesantren

Lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren sejak Maret lalu telah meliburkan aktivitasnya karena imbas wabah Covid-19. Kebijakan pengelola pondok pesantren yang memulangkan santrinya ini cukup responsif terkait wabah pandemi Covid-19. Kebijakan tepat di tengah ancaman penularan Covid-19. Hal ini terkonfirmasi tidak satupun pondok pesantren yang tertular oleh wabah Covid-19.

Meski demikian, selama pondok pesantren memulangkan santrinya ke rumah masing-masing, secara umum akivitas kegiatan belajar juga terhenti. Kegiatan seperti pengajian kitab secara sorogan termasuk pembelajaran materi tematik terhenti. Bila pun ada kegiatan pembelajaran jarak jauh, terbatas pada kegiatan tertentu seperti penyetoran hafalan santri kepada ustaznya melalui fasilitas digital. Situasi ini jika disandingkan dengan pendidikan formal tentu berbeda. Lembaga pendidikan formal selama pandemi ini, menerapkan pembelajaran secara virtual. Mulai tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi memanfaatkan fasilitas digital.

Situasi ini memberi gambaran secara konkret kondisi obyektif di pondok pesantren kita. Minimnya fasilitas di pondok pesantren khususnya layanan digital menjadi salah satu penyebab tidak adanya ruang pembelajaran virtual di pondok pesantren. Sayangnya juga, hingga tiga bulan terakhir ini, tidak ada rumusan yang ditawarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, terkait persoalan pendidikan keagamaan khususnya di pondok pesantren.

Kementerian Agama bersama pemangku kepentingan lainnya semestinya dapat merumuskan pembelajaran di pondok pesantren di situasi pola hidup baru di tengah pandemi Covid-19 ini. Upaya ini penting dilakukan, mengingat di pertengahan bulan Syawal ini (minggu kedua Juni), hampir seluruh pondok pesantren memulai aktivitas kegiatan belajar mengajarnya.

Terdapat skema yang dapat dipilih oleh pemerintah terkait keberlanjutan dan keberlangsungan pendidikan di pondok pesantren. Pertama, mensinkronkan dengan agenda pendidikan formal. Seperti saat ini tengah digodok mengenai jadwal ajaran baru bagi pendidikan formal apakah dimulai pada Juli atau di Desember atau awal tahun dengan mempertimbangkan penyebaran Covid-19 yang dianggap telah melandai Jika skenario ini ditempuh, tentu pilihan pembelajaran jarak jauh harus dilakukan. Penyediaan fasilitas bagi pondok pesantren dan santri harus disediakan dengan mempertimbangkan kekhasan pondok pesantren.

Kedua, aktivitas kegiatan belajar mengajar dilakukan seperti sedia kala dengan memerhatikan protokol kesehatan secara ketat. Para santri dilakukan rapid test atau swab untuk memastikan sebelum masuk ke lingkungan pondok pesantren dipastikan terbebas dari Covid-19. Di atas kertas, pemantauan aktivitas santri di lingkungan pondok pesantren relatif lebih terukur dibanding pendidikan formal di mana mobilitas siswa atau mahasiswa cenderung tinggi. Aktivitas santri dipastikan hanya berada di lingkungan pesantren saja. Hanya saja, fasilitas kesehatan di pondok pesantren tidak semua pesantren menyediakan. Pemerintah dapat memanfaatkan jejaring pusat kesehatan masyarakat (puskemas) yang tersebar di kecamatan-kecamatan untuk berkolaborasi dengan lembaga pendidikan pondok pesantren.

Pola hidup baru (new normal) idealnya tidak hanya di pusat-pusat ekonomi saja. Pusat penguatan mental (tempat peribadatan) dan nalar (lembaga pendidikan) semestinya juga mengikuti pola hidup baru di tengah Covid-19 dengan mempertimbangkan protokol kesehatan yang ketat. Setidaknya pemerintah memberi pesan ke publik bahwa, urusan perut, nalar dan mental menjadi hal penting dalam keberlanjutan pembangunan di Indonesia.

Arwani Thomafi Wakil Ketua Umum DPP PPP, Ketua Fraksi PPP MPR

Opini-Pendisiplinan Kenormalan Baru


Beberapa hari terakhir, pemerintah semakin gencar mewacanakan sebuah protokol kenormalan baru (new normal) dalam upaya menangani penyebaran Covid-19. Sejauh ini pemerintah telah merilis informasi bahwa protokol kenormalan baru tersebut akan melibatkan aparat TNI/Polri. Ratusan ribu aparat TNI/Polri akan diterjunkan di pusat-pusat keramaian publik sebagai ujung tombak pemerintah dalam "pendisiplinan" masyarakat untuk patuh pada protokol kenormalan yang akan diterapkan oleh pemerintah di beberapa daerah.

Untuk mendukung penugasan aparat TNI/Polri tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/334/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 bagi Aparat yang Melaksanakan Tugas Pengamanan dan Penertiban dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Protokol ini patut diapresiasi, mengingat aparat TNI/Polri juga membutuhkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya di tengah pandemi sekarang.

Meskipun demikian, aparat TNI/Polri tidak hanya butuh perlindungan dari penyebaran Covid-19 namun juga kejelasan akan tugas yang diamanahkan dalam era kenormalan baru. Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan beberapa catatan yang perlu dicermati terkait pelibatan aparat TNI/Polri dalam pendisiplinan di era kenormalan baru tersebut.

Permasalahan

Catatan pertama terkait masih belum jelasnya definisi jelas dari kata "pendisiplinan" yang akan menjadi tugas utama aparat TNI/Polri di era kenormalan baru. Hingga saat ini, belum ada keterangan yang komprehensif dari pihak pemerintah mengenai makna pendisiplinan tersebut. Sejauh ini, kata pendisiplinan sering dikaitkan erat dengan membangun kedisiplinan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Bagi anggota masyarakat yang menunjukkan tindakan indisipliner dalam kondisi pemberlakuan PSBB, maka aparat keamanan negara dapat memberikan sanksi berupa teguran atau sanksi sosial seperti misalnya, menyapu jalanan dengan mengenakan rompi pelanggar PSBB. Lantas, bagaimana dengan praktik pendisiplinan di era kenormalan baru? Apakah praktik yang sama seperti masa PSBBB juga akan diterapkan?

Di sinilah kemudian kita dapat menangkap permasalahan yang lebih besar bahwa pemerintah sebaiknya perlu mengklarifikasi secara lebih lugas apa perbedaan substansial antara pemberlakuan era kenormalan baru dan kebijakan PSBB. Apakah era kenormalan baru merupakan PSBB dengan modifikasi pembatasan sosial atau sebaliknya, sebuah kebijakan yang sama sekali berbeda dengan PSBB?

Ruang Lingkup

Mencapai sebuah kondisi disiplin dalam konteks nasional bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, catatan yang kedua adalah perlunya penentuan ruang lingkup pendisiplinan yang tepat sasaran. Kesan awal yang ditangkap publik sejauh ini adalah praktik pendisiplinan kenormalan baru akan dimulai di pusat-pusat perbelanjaan modern.

Terlebih lagi, muncul pendapat di masyarakat bahwa pendisiplinan dalam kenormalan baru dilakukan hanya untuk mendorong roda perekonomian berputar, khususnya di kota-kota besar. Padahal pola penyebaran Covid-19 tidak hanya menyasar pusat perbelanjaan modern atau mall di kota-kota besar, namun juga aktivitas ekonomi di pasar tradisional yang lebih merakyat. Artinya, pemerintah harus sadar betul bahwa era kenormalan baru bukanlah eksklusif diperuntukkan aktivitas perekonomian tertentu.

Era kenormalan baru harus menjangkau ke seluruh aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi dalam perekonomian kita baik itu di desa dan di kota. Sikap disiplin pada protokol kesehatan juga harus ditegakkan di pusat-pusat keramaian sosial lainnya, seperti misalnya di sekolah, rumah ibadah, atau sarana transportasi umum. Tentunya, setiap tempat memiliki ciri khas berbeda dan memerlukan praktik pendisiplinan yang sesuai juga.

Dalam penanganan kasus Covid-19 saat ini, pendekatan humanis tampaknya merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam memberikan kesadaran kepada masyarakat. Artinya, pemerintah tidak saja memikirkan pendekatan keamanan melalui perangkat keamanan negara. Tetapi juga harus selalu mengedepankan upaya untuk memberikan literasi yang cukup agar masyarakat menjadi terdidik dan sadar betul tentang betapa berbahayanya wabah Covid-19 dan pentingnya melakukan upaya pencegahan penyebaran wabah tersebut.

Mendisiplinkan masyarakat tanpa memberikan pengetahuan yang cukup tentang esensi sikap disiplin selama masa pandemi hanya akan melahirkan masalah baru, misalnya ketegangan antara masyarakat dan aparat keamanan negara. Setidaknya, hingga saat ini, kebutuhan untuk menangani wabah Covid-19 terletak pada beberapa hal.

Pertama, membangun kesadaran masyarakat dengan literasi dan narasi yang tepat. Hal ini dapat terlihat dari masukan-masukan publik bagi pemerintah untuk dapat memberikan informasi yang jelas dan komprehensif tentang jumlah kasus Covid-19, dan penggunaan kalimat yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat;

Kedua, mempersiapkan infrastruktur kesehatan yang lebih baik dan memadai. Jumlah kasus positif yang masih mengalami tren kenaikan pada kasus harian memberikan implikasi serius terhadap sektor kesehatan. Kebutuhan rumah sakit, rapid test atau PCR test menjadi hal yang utama. Dengan demikian kebutuhan pada sektor kesehatan menjadi kebutuhan prioritas.

Ketiga, menanggulangi dampak ekonomi dan sosial. Pembatasan sosial di hampir seluruh wilayah Indonesia memberikan dampak serius pada dunia usaha dan UMKM. Walaupun pemerintah telah menyusun skema bantuan kepada sektor-sektor ekonomi kecil dan menengah, namun pada praktiknya berbagai insentif dan bantuan kepada masyarakat di lapangan masih menemui berbagai kendala.

Keempat, sinergi antarsektor publik (termasuk sektor keamanan) yang baik dalam mencapai tujuan-tujuan penanggulangan wabah Covid-19. Kebutuhan atas sinergi antarsektor dibutuhkan dalam harmonisasi berbagai tindakan dan pernyataan. Dengan demikian, pendekatan keamanan melalui pelibatan TNI-Polri dalam menegakkan disiplin masyarakat bukan hanya satu-satunya jalan dalam menanggulangi wabah Covid-19

Tak Boleh Gegabah

Catatan terakhir adalah perlunya mekanisme pelibatan yang jelas dalam penugasan aktor keamanan negara untuk melakukan pendisiplinan di era kenormalan baru. Aparat TNI dan Polri memiliki mandat konstitusional yang berbeda dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Khusus TNI, tupoksinya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 yang terbagi atas operasi militer perang dan operasi militer selain perang.

Pelibatan TNI dalam pendisiplinan mungkin dapat dikaitkan dengan tugas operasi militer selain perang dan berdasarkan UU TNI sangat jelas dicantumkan bahwa pengerahan pasukan TNI harus berdasarkan keputusan politik pemerintah dan DPR. Bagaimanapun juga TNI adalah alat pertahanan negara yang lebih terlatih dalam skill tempur. Oleh karenanya, kita tidak boleh gegabah melibatkan TNI dalam misi non-tempur seperti pendisiplinan tanpa adanya batasan operasional yang tegas agar TNI tidak kehilangan skill tempurnya atau melampaui batas kewenangannya.

TNI merupakan alat pertahanan negara, maka mekanisme perlu disusun sejelas mungkin. Selain jumlah pasukan, hal lain yang mungkin perlu diatur adalah alur komando, jenis satuan yang di gelar, pengaturan logistik, dan model pertanggungjawaban kepada sipil. Karena sejatinya, UU tentang TNI dan juga UU tentang Polri tidak mengatur secara eksplisit tentang respons aparat terhadap persoalan wabah penyakit atau yang kita alami sebagai pandemi Covid-19 saat ini.

Persiapan Matang

Era kenormalan baru semakin digaungkan, namun kita masih belum melihat bentuk yang utuh dari kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut. Sama seperti sektor-sektor lainnya, upaya pendisiplinan oleh aparat keamanan dalam era kenormalan baru butuh persiapan yang sangat matang. Pemerintah juga harus disiplin dalam merancang kerangka legal dalam penanganan pandemi agar tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat.

Terminologi pendisiplinan, ruang lingkup pendisiplinan, dan mekanisme pelibatan aparat keamanan dalam pendisiplinan di era kenormalan nantinya harus berlandaskan dengan payung hukum yang kuat. Payung hukum ini diperlukan sebagai bagian dari mekanisme pengawasan demokratik. Pada prinsipnya, ada kebutuhan yang tidak bisa diabaikan dalam pengerahan alat pertahanan keamanan negara dalam kerangka demokratik yaitu: pengawasan.

Kondisi pandemi memang membutuhkan kecepatan dalam bertindak. Namun hal tersebut tidak kemudian memberikan ruang untuk menegasikan esensi Indonesia sebagai negara yang demokratis.

Tubagus Hasanuddin anggota Komisi I DPR

Nasional-Analisis Zuhairi MisrawiKetidakpastian Arab Saudi Soal Haji


Kementerian Agama Republik Indonesia sudah memutuskan pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 2020. Alasan utamanya, karena pemerintah Arab Saudi tidak kunjung memberikan kepastian perihal penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Kemenag RI tidak mempunyai persiapan yang matang untuk keberangkatan jemaah haji yang rencananya akan dimulai pada 26 Juni, akhir bulan ini.

Jemaah haji asal Indonesia merupakan jemaah terbesar dari segi jumlah. Setidaknya ada sekitar 230.000 jemaah haji dari total jumlah jemaah haji dari keseluruhan yang jumlahnya mencapai 2.000.000 lebih jemaah haji. Jumlah khusus Indonesia, mengacu pada kuota 10 persen dari jumlah umat Islam di sebuah negara sesuai kesepakatan dalam Organisasi Kerjasama Negara-Negara Islam.

Di masa normal saja, persiapan penyelenggaraan ibadah haji bagi Indonesia membutuhkan persiapan yang matang, karena tidak mudah memberikan pelayanan yang maksimal dan optimal. Pada tahun-tahun lalu, kita melihat pelayanan ibadah haji yang belum memuaskan, karena memang kita harus mempersiapkan pelayanan bagi jemaah haji dalam jumlah yang besar. Pelayanan tersebut tidak hanya di Arab Saudi, melainkan juga di dalam negeri.

Di tengah pandemi, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan pelayanan yang sesuai dengan protokol World Health Organization (WHO), yang selama ini biasa diterapkan. Yaitu 14 hari masa karantina sebelum berangkat, dan 14 hari masa karantina sebelum kepulangan. Belum lagi, tes Covid-19 terhadap setiap calon jemaah haji.

Jadi, bagi Kemenag RI yang mempunyai mandat dari pemerintah untuk menjadi penyelenggara ibadah haji tidaklah mudah, karena semuanya berdampak pada kesiapan infrastruktur, termasuk pembengkakan biaya, jika haji dipaksakan dilaksanakan bagi jemaah haji asal Indonesia. Lebih dari itu, ibadah haji di tengah pandemi sudah bisa dipastikan dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak sederhana bagi kesehatan, yang jika tidak ditangani dengan baik dan hati-hati akan berdampak bagi keselamatan jiwa.

Akhirnya, pemerintah RI memandang bahwa untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs), sebagaimana digarisbawahi dalam Maqashid al-Syari'ah, maka jemaah haji Indonesia batal diberangkatkan pada tahun ini. Menjalankan ibadah haji merupakan sebuah ibadah dalam rangka menjaga agama (hifd al-din). Tapi jangan lupa, bahwa hifd al-din harus sejalan dengan hifd al-nafs). Namun persoalannya, kenapa Pemerintah Arab Saudi hingga saat ini tidak memberikan kepastian tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun ini? Apa sebenarnya yang terjadi?

Semua negara menunggu dengan penuh cemas dan debar perihal keputusan Arab Saudi dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Padahal dalam hal penyelenggaraan umrah, Arab Saudi sangat cepat dan tegas mengumumkan larangan ibadah umrah bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tidak lama setelah itu, Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah langsung ditutup untuk umum.

Namun dalam hal penyelenggaraan ibadah haji, Arab Saudi terkesan lamban, seolah-olah masih memberikan harapan bagi jemaah haji untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini. Hal tersebut sebenarnya tidak hanya terkait dengan persoalan teologis yang terdapat dalam ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam, melainkan juga terkait dengan ibadah haji sebagai salah satu sumber ekonomi bagi Arab Saudi.

Kita tahu bahwa pandemi benar-benar memukul ekonomi Arab Saudi. Salah satunya karena harga minyak yang terus menurun tajam akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Fakta ini mengancam megaproyek yang direncanakan Muhammad bin Salman (MBS), Neom 2030. Di tengah ekonomi yang sedang morat-morat, Arab Saudi menaikkan pajak, yang itu justru diputuskan pada momen pandemi yang semestinya memberikan ruang bernafas bagi warga.

Dampak yang tak terelakkan, popularitas MBS yang digadang-gadang sebagai suksesor Raja Salman bin Abdul Aziz mulai dipertanyakan. Mulai muncul pandangan, bahwa MBS tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni untuk melanjutkan kepemimpinan di masa depan. Belum lagi, kasus kematian Jamal Khashoggi yang menjadi beban sejarah, karena MBS dianggap berlumuran darah. Sampai kapan pun MBS akan selalu dikaitkan dengan kematian mantan jurnalis itu.

Intinya, Arab Saudi sepertinya masih membuka ruang harapan bagi penyelenggaraan ibadah haji pada tahun ini. Ada dua pilihan yang bisa diambil Arab Saudi soal penyelenggaraan haji pada tahun ini. Pertama, haji tetap digelar tetapi dalam skala sangat terbatas dengan jumlah yang sangat terbatas pula. Beberapa negara seperti Pakistan sudah menyampaikan usulan agar haji tetap digelar dengan kuota yang sangat terbatas. Jika harus digelar, maka hanya bagi warga Arab Saudi dalam jumlah yang kecil sebagai ritual simbolik bahwa haji tahun ini tetap digelar.

Kedua, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dibatalkan karena mengingat kesulitan dalam menerapkan protokol kesehatan dalam seluruh kegiatan ibadah haji. Toh, ibadah haji pernah dibatalkan pada tahun-tahun sebelumnya saat pandemi dan situasi perang yang mana keamanan dan keselamatan jemaah terganggu.

Apapun keputusan haji tahun ini berada di tangan Raja Salman bin Abdul Aziz sebagai pelayan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi (khadim al-haramain). Perlu waktu yang tepat untuk memutuskan secara final perihal penyelenggaraan ibadah haji tahu ini.

Dan sikap pemerintah Indonesia yang terlebih dahulu memutuskan pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun ini patut diapresiasi. Setidaknya dapat menginspirasi pemerintah Arab Saudi bahwa sebaiknya penyelenggaraan ibadah tahun ini dibatalkan demi keselamatan jiwa dan meninggalkan bahaya yang lebih besar. Alasannya, karena tidak mudah menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi.

Zuhairi Misrawi cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta

Nasional-Seminar Live Streaming HTI dengan cover acara FORKISMA (Forum Kajian Islam Madura)

Seminar Live streaming FORKISMA (Forum Kajian Islam Madura) yang berafiliasi dengan ORMAS TERLARANG HTI

HTI sepertimya tak pernah lerhenti untuk selalu menyebarkan paham khilafahnya, dimasa pandemic wabah penyakit Covid 19, HTI dan simpatisanya selalu mengkampanyekan pemahaman Khilafah sebagai satu-satunnya solusi dari berbagai banyaknya permasalahan yang ada di dunia ini, terutama dan khususnya di Indonesia ini.

Setelah kemarin HTI dan simpatisanya mengadakan kegiatan live streaming yang berjudul "Multaqo Ulama ASWAJA Jatim, dengan tema Masa Depan Dunia Pasca Corona, Menyongsong Peradaban Baru Islam", sekarang HTI dan simpatisannya kembali berulah mengadakan kegiatan acara live streaming dengan tema "Forum Online#10 Forum Kajian Islam Madura (FORKISMA). Paska Komunisme dan Kapitalisme Tumbang, Kemana Harusnya Muslim Berlabuh?
Komunisme Bahaya Laten, Kapitalisme Bahaya Nyata, Islam Harapan Kita.

Bisa diketahui secara langsung dalam kegiatan seminar live streaming tersebut, bahwa tertulis dan disebutkan bahwa Juru bicara HTI yaitu  Ir. Ismail Yusanto, MM ikut serta dalam kegiatan seminar tersebut. Dan bisa dipastikan bahwa ujung-ujungnya kegiatan seminar tersebut mengkampanyekan paham khilafah.

Telah diketahui oleh orang umum bahwa HTI diluar negeri bernama HT /Hisbut Tahrir telah dilarang di berbagai negara, bahkan di negara Arab Saudi yang merupakan negara kelahiran agama Islam, HT atau Hisbut Tahrir telah dilarang keras berada di sana, karena Hisbut Tahrir selalu mengkampanyekan paham Khilafah yang sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan di Arab Saudi.

Bila di negara Arab Saudi saja telah melarang dan banyak negara telah melarang Hisbut Tahrir maka sudag sewajarnya dan sudah seharusnya juga Hisbut Tahrir atau HTI (Hisbut Tahrir Indonesia) dilarang di Indonesia.

Indonesia telah secara resmi melarang HTI menyebarkan paham khilafahnya di Indonesia dan menyebutkan bahwa HTI adalah ORMAS TERLARANG di Indonesia maka setiap kegiatan atau acara apapun yang menyebarkan pemahaman tentang Khilafah dalah WAJIB DILARANG.

HTI juga telah terbukti dalam situsnya sebelum ditutup oleh pemerintah, bahwa HTI telah mengajak angkatan bersenjata Indonesia atau TNI untuk segera mengambil alih pemerintahan yang dinilai oleh HTI telah salah jalan dalam pembangunan.

Jejak hitam kudeta Hisbut Tahrir bisa di google, yaitu di di Yordania (pada 1968,1969, dan 1971), Irak (1969 dan 1972), Mesir (1969 dan 1979) dan pakistan (2011), percobaan  untuk melakukan kegiatan kudeta militer cukup menjadi bukti bahwa HTI dengan pemahaman Khilafahnya sangat berbahaya bagi Negara Indonesia.