Siti Zuhro (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - Peneliti senior LIPI Siti Zuhro menyetujui rencana amandemen UUD 1945 perihal menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Siti menilai GBHN dihidupkan kembali agar pembangunan nasional dan daerah sinergis.
"Satu sisi tentang haluan negara yang penting karena memang sejak era otonomi daerah yang diterapkan 2001 itu, rasanya untuk sambungkan atau membuat sinergi pembangunan nasional dan pembangunan daerah," kata Siti dalam diskusi polemik 'Membaca Arah Amandemen UUD 45' di Hotel Ibis Tamarin, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).
Dia berharap amandemen UUD 1945 saat ini perlu dievaluasi karena masih mempunyai banyak kekurangan. Usulan rencana amandemen UUD 1945 harus memunculkan wacana menerbitkan kembali GBHN.
"Usulan amandemen itu harusnya mengangkat isu krusial itu apa, jadi tidak boleh lakukan semacam dusta di antara kita. Jadi topik yang dimunculkan GBHN-nya saja, padahal GBHN itu terkait langsung dengan MPR, nanti payung hukumnya apa," kata dia.
Siti menilai saat ini pembangunan nasional dan daerah tidak sinergis. Jika ada GBHN, visi-misi presiden dan kepala daerah bisa sinergis.
"Jadi tak boleh visi-misi presiden, gubernur, bupati tak nyambung, jadi mau dibawa ke mana Indonesia," kata dia.
Selain itu, ia mengatakan tidak setuju pemilihan presiden melalui MPR dan masa jabatan presiden tiga periode. Menurut Siti, lebih baik masa jabatan presiden lebih dari 5 tahun tapi hanya satu periode dan tetap ada pemilu.
"La karena itu menurut saya penting untuk kita pikirkan opsi untuk satu periode dengan lebih dari 5 tahun. Apakah dua periode tapi disela. Artinya, kalau sekarang katakan ada Presiden Nasir Djamil selesai 2021, tidak boleh lagi 2021 ada pilpres itu dia ikut. Nanti dulu, tunggu itu juga, supaya tidak ada nepotisme dan politik dinasti," jelas dia.
"Usulan amandemen itu harusnya mengangkat isu krusial itu apa, jadi tidak boleh lakukan semacam dusta di antara kita. Jadi topik yang dimunculkan GBHN-nya saja, padahal GBHN itu terkait langsung dengan MPR, nanti payung hukumnya apa," kata dia.
Siti menilai saat ini pembangunan nasional dan daerah tidak sinergis. Jika ada GBHN, visi-misi presiden dan kepala daerah bisa sinergis.
"Jadi tak boleh visi-misi presiden, gubernur, bupati tak nyambung, jadi mau dibawa ke mana Indonesia," kata dia.
Selain itu, ia mengatakan tidak setuju pemilihan presiden melalui MPR dan masa jabatan presiden tiga periode. Menurut Siti, lebih baik masa jabatan presiden lebih dari 5 tahun tapi hanya satu periode dan tetap ada pemilu.
"La karena itu menurut saya penting untuk kita pikirkan opsi untuk satu periode dengan lebih dari 5 tahun. Apakah dua periode tapi disela. Artinya, kalau sekarang katakan ada Presiden Nasir Djamil selesai 2021, tidak boleh lagi 2021 ada pilpres itu dia ikut. Nanti dulu, tunggu itu juga, supaya tidak ada nepotisme dan politik dinasti," jelas dia.
Sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar