Menurut Prof Nabil dari pemeriksaan sekitar satu bulan, ada kesamaan penyebab kematian kedua remaja itu. Mereka meninggal karena kekerasan benda tumpul, juga terjadi pendarahan di kedua korban. Serta terdapat patah tulang iga dan patah tulang dada.
“Itulah penyebab kematian mereka. Kalau pun mereka selamat, penanganannya harus cepat. Karena kondisi seperti itu. Jadi dari hasil pemeriksaan, tidak terdeteksi adanya gas air mata di kedua korban itu,” kata Prof Nabil saat ditemui di gedung Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (Unair), Rabu (30/11/2022).
Ia mengaku mengalami kesulitan dalam melakukan autopsi. Sebab, saat pengambilan sample, korban itu dalam kondisi pembusukan. Sehingga, ia dan tim himpunan dokter forensik Indonesia hanya mengambil bagian tubuh yang masih utuh.
Namun ia memastikan jika hasil yang mereka keluarkan itu, dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, hasil autopsi yang timnya itu lakukan, sudah diserahkan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Nanti dalam persidangan mungkin dipanggil ahli dari BRIN untuk memastikan hasil yang kami berikan,” tegasnya.
Sayangnya, ia tidak mau menjelaskan secara gamblang hasil autopsi tersebut. Sebab, hasil detailnya akan dipaparkan dalam persidangan nanti. Pun dirinya juga enggan mengungkapkan bagian tubuh korban bagian mana saja yang diambil saat autopsi.
“Saya sekarang hanya bisa menjelaskan intinya saja. Detailnya saya berikan ke jaksa untuk materi persidangan nanti. Apa saja yang kami ambil kemarin, sudah dipaparkan dalam hasil autopsi. Di sana lengkap semua,” ungkapnya.
Sementara, Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. Pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan dalam peristiwa penyemprotan gas air mata ke tribun penonton bukan pelanggaran HAM, namun ada unsur kealpaan.
Berdasarkan analisis akademisi tidaklah mungkin jika aparat dalam tragedi Kanjuruhan itu sengaja membunuh.
“Kalau HAM jelas tidak mungkin, kemanusiaan itu bicara secara sistematis dan serangan itu harus dengan senjata, ini kan dengan gas air mata sehingga harus kita kesampingkan kasus ini adalah masuk HAM,”katanya.
Prof Didik juga menjelaskan dalam Tragedi Kanjuruhan Malang, polis tidak bisa dikenal pasal 340 KUHPidana dan 338 KUHPidana dikarenakan tidak ada unsur tersebut.
“Nah, sekarang bagaimana dengan pasal kealpaan. Teori pasal kealpaan ini bisa diterapkan dalam Tragedi Kanjuruhan. Gara-gara disemprot gas air mata terjadi kepanikan hingga berdesakan dan menimbulkan kematian,”terangnya.
“Siapa yang bisa disalahkan komandan yang memerintahkan penyemprotan itu. Karena anak buah tidak bisa, karena anak buahnya pasti akan tunduk, karena anak buah dilindungi pasal 51 KUHP. Dia melaksanakan perintah jabatan,”lanjutnya.
Ia menggarisbawahi terkait penyelenggaraan pertandingan. Sebab, di situ terjadi pembiaran hingga terjadinya over capacity. Prof Didik pun menyebut hal yang sangat penting adalah soal penyebab kepanikan.
“Apakah orang-orang panik karena disemprot, atau yang lain? Karena itu harus dibuktikan. Mungkin dari CCTV ataupun video amatir yang harus dikumpulkan, karena hukum pidana mencari kebenaran material tidak bisa parsial,” bebernya.